Melawan Keterbatasan, ACT Biayai Para Murid Alor Bersekolah di Pulau Jawa
Global Zakat-Aksi Cepat Tanggap (ACT) terus mengapresiasi semangat para guru dan murid yang berjuang dalam dunia pendidikan di tepian negeri.
Editor: Content Writer
Global Zakat-Aksi Cepat Tanggap (ACT) terus mengapresiasi semangat para guru dan murid yang berjuang dalam dunia pendidikan di tepian negeri.
Tidak hanya dirasakan para guru, apresiasi tersebut juga dirasakan langsung oleh para murid-murid MIS Timuabang, Alor. Di tengah keterbatasan buku ajar, bacaan, fasilitas pendidikan, serta alat peraga pendidikan di tepian negeri, mereka berhasil menyabet medali dalam olimpiade tingkal nasional.
Keberadaan Kadir, Kepala Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Timuabang, serta murid-muridnya di Jakarta merupakan kelanjutan dari program Pendidikan Tepian Negeri ACT yang telah dimulai sejak tahun 2014 lalu.
Terhitung sejak pekan ketiga Juli 2019 ini, enam anak didik Kadir melanjutkan sekolah di Pulau Jawa. Mereka akan belajar di bawah binaan Fath Institute di Jakarta dan Bogor, Jawa Barat.
Selain itu, ada ada pula yang mengenyam pendidikan di pesantren daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Kehadiran para siswa Alor di Jawa adalah buah keyakinan dan usaha orang tua serta guru-guru di Alor yang senantiasa memprioritaskan pendidikan mereka di tengah keterbatasan ekonomi.
Sebelumnya, tepat tahun 2014 lalu, ACT mendarat di tanah Alor, tempat berdirinya MIS Timuabang. Lima ruang kelas ACT bangun sebagai tindakan untuk menyediakan pendidikan yang layak di tepian negeri. Sementara sejak 2017, ACT juga telah memberangkatkan murid dari Alor ke tanah Jawa untuk melanjutkan pendidikan.
Amin, salah satu penerima beasiswa yang baru saja lulus dari MIS Timuabang ini menuturkan kepada tim ACT betapa bangganya ia bisa melanjutkan sekolah di ibu kota. “Senang sekolah di Jakarta,” ungkapnya singkat setelah melaksanakan salat Jumat di Masjid Istiqlal.
Sejalan dengan itu, Kadir menambahkan bahwa para murid yang berangkat ke Jawa ini merupakan mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera di kampungnya. Orang tua mereka sebagian besar adalah nelayan tradisional atau merantau ke Batam, Kepulauan Riau, atau Malaysia untuk mengadu nasib.
“Sebagian besar penduduk di Timuabang prasejahtera, mereka menggantungkan nasib pada hasil laut atau merantau dengan pekerjaan yang juga belum jelas,” ungkap Kadir sambil mendampingi murid-muridnya mengunjungi Monas.
Meskipun murid-murid tersebut hadir dari keluarga prasejahtera, Kadir mengaku, keluarga mereka sangat mendukung pendidikan anak-anaknya. Orang tua anak didiknya tak pernah memaksakan anaknya untuk membantu pekerjaan orang tua, malah mendorong anaknya terus sekolah. “Istilahnya, orang tua mereka menekankan, apa pun yang terjadi anaknya harus sekolah,” jelas Kadir.
Seluruh murid yang bersekolah di MIS Timuabang bimbingan Kadir tak dimintai biaya satu rupiah pun. Mereka bersekolah gratis. Saat ini terdapat lima ruang kelas yang berdiri dari ACT yang mereka manfaatkan serta enam guru yang mendidik puluhan siswa. Di sisi lain, seluruh guru yang mengajar dri MIS Timuabang tak mendapatkan gaji tetap.
Tiap bulannya mereka hanya mendapatkan sembako dari seorang donatur, sedangkan ada Biaya Operasional Sekolah atau BOS dari pemerintah sebesar Rp 22 juta per semester. BOS ini yang menjadi gaji mereka.
Guru yang mengajar di Timuabang tak seluruhnya lulusan pendidikan tinggi atau sarjana. Sebagian dari mereka bersekolah dengan cara mengejar paket. Walau begitu, pengalaman serta asa untuk membangun semangat belajar anak-anak di Timuabang menjadi kekuatan mereka mengajar.
Meskipun, sebagian guru tak memiliki latar belakang pendidikan tinggi, sebuah bukti dari ketekunan melahirkan kebanggan. Beberapa siswa MIS Timuabang telah menyabet medali dalam olimpiade tingkat nasional.
“Kami belajar dari bahan yang ada saja. Di dalamnya kan ada soal, ya dari situ anak-anak ini belajar untuk persiapan olimpiade sains,” tutup Kadir.(*)