Soal Wacana Amandemen UUD 1945, Mahfud MD Beri Peringatan hingga Tanggapan Pakar Hukum
Soal wacana amandemen terbatas UUD 1945, peringatan Mahfud MD hingga tanggapan pakar hukum.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Daryono
Soal wacana amandemen UUD 1945, peringatan Mahfud MD hingga tanggapan pakar hukum.
TRIBUNNEWS.COM - Mengenai wacana amandemen UUD 1945, Mahfud MD buka suara memberikan peringatan, hingga tanggapan dari pakar hukum.
Sebelumnya diberitakan wacana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Itu berarti, MPR memiliki kewenangan menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan.
Rekomendasi tersebut muncul dalam Kongres V PDIP yang digelar di Hotel Grand Inna Bali Beach, Sanur, Bali pada Sabtu (10/8/2019) lalu.
Baca: Quo Vadis UUD 1945?
Baca: PDIP Berharap Pimpinan MPR Mendatang Dukung Usulan Amandemen Terbatas UUD 1945
Meski begitu, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDIP, Ahmad Basarah, membantah wacana amandemen terbatas UUD 1945 yang disebut-sebut merupakan inisiatif dari partainya.
"Kongres PDIP yang merekomendasikan MPR melanjutkan rencana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan GBHN hanyalah meneruskan rencana yang sudah disepakati pimpinan-pimpinan fraksi di MPR RI dan DPD RI," jelas Basarah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/8/2019), seperti dilansir Kompas.com.
"Jadi, bukan maunya PDIP. Ini perlu diluruskan," lanjut dia.
Dirangkum Tribunnews dari berbagai sumber, berikut tanggapan Mahfud MD dan pakar hukum mengenai wacana amandemen terbatas UUD 1945:
Mahfud MD
Mengutip Kompas.com, mantan Ketua MK, Mahfud MD, memberikan tanggapannya terkait wacana amandemen terbatas UUD 1945.
Ia memberikan peringatan untuk berhati-hati jika ada pihak yang protes.
Mahfud juga mengingatkan agar hasil amandemen dilakukan secara konsisten demi kepastian hukum.
"Kalau besok (UUD 1945) diamandemen, ya hati-hati saja, besoknya akan ada yang protes untuk diubah lagi. Menurut saya ya harus lebih konsisten."
"Sebagai ahli hukum tata negara, diamandemen boleh, tidak juga boleh," tutur Mahfud saat ditemui di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut, Cipulir, Jakarta Selatan, Rabu (14/8/2019).
Baca: Mahfud MD Siap Gelontorkan Uang Rp 10 Miliar untuk Hadiah Sayembara, Hal Ini yang Buatnya Yakin
Baca: 6 Fakta Sayembara Mahfud MD, Alasan Sebut TNI Kecolongan soal Enzo hingga Berikan Uang Rp 10 Miliar
"(Jika diamandemen), bagaimana cara amandemennya? Apa konsekuensinya? Karena itu bagian dari hukum tata negara," tambah dia.
Meski begitu, Mafud MD meminta agar MPR mengkaji lebih dalam terkait dampak amandemen terbatas UUD 1945 terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pasalnya, amandemen UUD 1945 sudah dilakukan berkali-kali dan setiap amandemen berdampak pada sistem ketatanegaraan di Indonesia.
"Saya mengimbau ke kita semua, terutama para pengambil keputusan. Berdasarkan sejarah bangsa Indonesia, setiap UUD yang diundangkan itu selalu diprotes untuk diubah."
"Tahun 1945 diundangkan, Oktober diubah dengan Maklumat X tahun 1945. Sudah itu diubah lagi tahun 1949, diprotes ini jelek, diubah dengan UUDS 1950," jelas Mahfud.
"Diubah kembali ke UUD 1945, katanya jelek pelaksanaannya zaman Orde Lama dan Orde Baru kemudian diamendemen. Mau diubah lagi," lanjutnya.
Ketua DPD
Ketua DPD, Oesman Sapta Odang, menilai sah-sah saja MPR kembali menghidupkan GBHN.
Asalkan sejalan dengan kebijakan pemerintah.
"Nanti gimana rundingan antara lembaga politik dengan pemerintah itu harus dibicarakan."
Baca: PDIP Tak Masalah Kursi Ketua MPR Lepas Asalkan Amandemen UUD 1945
Baca: TRIBUNWIKI : Dr Sahardjo SH, Pahlawan Nasional di Balik Perumusan Pasal UUD 1945
"Gimana mereka menyatukan pandangan-pandangan pemerintah dengan kepentingam GBHN itu sendiri," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (13/8/2019), dilansir Tribunnews.
Tak hanya itu, Oesman mengaku akan lebih setuju amandemen UUD 1945 dilakukan jika peran lembaga DPD diperkuat dalam sistem ketatanegeraan di Indonesia.
"Sangat setuju kalau peran DPD nanti perkuat disitu," ujarnya.
Pakar hukum
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menyatakan tidak setuju pada wacana amandemen terbatas UUD 1945.
"Saya katakan tidak, saya tidak setuju dengan ide amendemen ini," tegasnya.
Pasalnya, wacana tersebut bukan diusulkan langsung oleh rakyat dan berdampak besar.
Iapun mempertanyakan urgensi penghidupan kembali GBHN melalui amandemen terbatas UUD 1945.
Bivitri menilai tuntutan amandemen UUD 1945 bukan merupakan kepentingan politik.
Amandemen UUD 1945 dulunya dilakukan karena ada tuntutan dari rakyat.
Baca: Kabinet Jokowi Selesai Disusun, Jadwal Pengumuman hingga Ada 2 Kementerian Baru
Baca: Jokowi Pastikan Jaksa Agung Bukan dari Parpol, NasDem Tidak Keberatan
"Dulu '97 dan '98, salah satu tuntutan mahasiswa dan banyaknya elemen rakyat salah satunya amendemen konstitusi."
"Jadi ada tuntutan dari rakyat untuk amendemen," ujar Bivitri dalam diskusi bertajuk 'Amandemen Konstitusi, Kepentingan Rakyat atau Berebut Kuasa' di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019).
Menurut Bivitri, wacana amandemen terbatas UUD 1945 harus didasarkan pada kepentingan rakyat.
Ia menilai usulan amandemen UUD 1945 yang muncul tidak berimpllikasi besar jika GBHN kembali dihidupkan.
Karena pada era Orde Baru, GBHN diberlakukan untuk mengontrol kinerja presiden yang saat itu dipilih MPR.
Secara tidak langsung, GBHN menjadi alat kontrol MPR terhadap presiden.
"Ada beberapa artikel yang mencoba menjustifikasi GBHN mengatakan, iya GBHN tetap ada."
"Tapi GBHN tetap tidak bisa menjatuhkan presiden, tapi presiden tetap dipilih rakyat. Intinya ingin menjustifikasi GBHN sebagai dokumen ada," kata Bivitri.
"Pertanyaan kritisnya, kalau (GBHN) cuma ada, gunanya apa?" tandasnya.
Baca: Perkiraan Nama-nama Menteri Jokowi-Maruf: Menteri Muda sudah Dipilih, Puan Maharani Tak Masuk?
Baca: Jokowi Umumkan Ibu Kota Baru Saat Pidato Kenegaraan Pada 16 Agustus?
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)