Kisah Saat Soekarno Menyamar Jadi Tukang Sayur dan Fatmawati Jadi Tukang Pecel
Wawancara Intisari dengan Ibu Fatmawati ini dituangkan dalam Majalah Intisari edisi Agustus 1970, dengan judul Bendera Pusaka, Dijahit Ibu Fatmawati
Editor: Sugiyarto
Sekitar proklamasi itu pengalaman apa yang paling tak bisa dilupakan oleh Ibu atau yang paling mengesangkan hingga kini?
Yang paling berkesan antara lain adalah saat Bapak membacakan teks Proklamasi di mana sesudahnya hadirin banyak yang mencucurkan air mata.
Selain itu juga perjalanan ke Rengasdengklok.
Kecuali menjahit bendera, Ibu tentu ikut berperan dalam hari-hari bersejarah itu?
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Ibu lebih banyak bertugas dalam mempersiapkan dapur umum untuk pemuda-pemuda dan anak-anak pejuang yang menjaga Bapak di Pegangsaan Timur 56.
Ibu mempersiapkan ini hanya dibantu oleh beberapa orang pembantu rumah tangga.
Masih ingatkah Ibu malam dan pagi menjelang detik Proklamasi itu. Apa saja yang malam itu Ibu lakukan dan pagi itu juga?
Baiklah. Ibu mulai saja dari kejadian-kejadian sesudah Rengasdengklok tanggal 16 Agustus 1945.
Setibanya kembali di Jakarta Ibu didrop di rumah Bung Hatta. Di situ Bapak pamit mau ke rapat bersama-sama Bung Hatta.
Rapatnya di mana ibu tak tahu waktu itu. Kemudian baru Ibu tahu bahwa mereka pergi ke rumah Laksamana Maeda.
Seperginya Bapak dan Bung Hatta, Ibu menelepon rumah Pegangsaan Timur 56 minta dijemput sopir dan setelah datang Ibu kemudian pulang ke rumah bersama Guntur.
Malam-malam baru Bapak datang dari rapat dan sambil masuk kamar untuk menulis teks berkata, “Besok kita memproklamirkan Kemerdekaan kita.”
Semalaman itu Bapak dan Ibu sendiri tidak bisa tidur. Di tempat tidur biar pun mata dipicing-picingkkan kantuk rasanya tidak datang.
Apakah masih ada hal-hal lain yang masih Ibu ingat sekitar Proklamasi itu?