Ketua Umum PPHI: Presiden Jokowi Bisa Gunakan Deponering untuk Bebaskan Mahasiswa Papua
Kewenangan itu diatur dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang (UU) No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH menyarankan Presiden Joko Widodo menggunakan kewenangannya melalui Jaksa Agung HM Prasetyo untuk melepaskan sejumlah demonstran pro-Papua merdeka yang ditetapkan polisi sebagai tersangka.
“Melalui Jaksa Agung, Presiden Jokowi bisa menggunakan kewenangannya untuk membebaskan para tersangka dengan seponering atau deponering,” ucapnya di Jakarta, Senin (2/9/219).
Presiden Jokowi, tegas Murphi, bisa menginstruksikan kepada Jaksa Agung HM Prasetyo untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum atau dikenal dengan istilah seponering atau deponering untuk membebaskan para demonstran pro-Papua merdeka.
Kewenangan itu diatur dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang (UU) No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
“Deponering bisa digunakan untuk membebaskan orang-orang Papua yang ditahan di Polda Metro Jaya maupun Polda Papua,” jelas Murphi yang baru saja mendapat gelar doktor honoris kausa dari sebuah universitas di Kamboja.
Baca: Bukan Banyuwangi, Lokasi 'KKN di Desa Penari' Diduga Kuat di Wonoboyo Bondowoso, Begini Analisanya
Ia lalu mengutip bunyi Pasal 35 huruf c UU No 16/2004, yakni, “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.”
Kepentingan umum dimaksud, jelas Murphi, ialah situasi aman, damai, sejuk dan kondusif di Papua dan Papua Barat setelah sempat terjadi gejolak akibat aksi demonstrasi yang berujung rusuh beberapa waktu lalu.
“Bahwa keamanan dan kedamaian di Bumi Cendrawasih merupakan kepentingan umum bagi seluruh bangsa ini, terutama rakyat Papua dan Papua Barat,” paparnya.
Baca: Ramalan Zodiak Senin 2 September 2019: Taurus Berhenti Lari dari Masalah, Cancer di Zona Nyaman
Bila proses hukum terhadap para demonstran yang menjadi tarsangka diteruskan, Murphi khawatir situasi di Papua dan Papua Barat akan terus bergejolak, dan rakyat Papua pun akan terus melawan karena sejumlah mahasiswa dan rakyat Papua ditahan.
“Deponering itu bukan berarti kita tidak mematuhi hukum. Kita tetap menjunjung tinggi supremasi hukum, hanya saja Jaksa Agung memang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk membebaskan tahanan dengan alasan demi kepentingan umum,” terangnya.
Penggunaan deponering, masih kata Murphi, juga bukan berarti Kejaksaan Agung diskriminatif atau mengingkari prinsip equality before the law (kesetaraan di muka hukum), tapi ada kepentingan yang lebih luas lagi yang menyangkut masa depan bangsa ini, daripada tetap menjadikan mahasiswa dan orang-orang Papua sebagai tersangka dan menahannya.
Baca: Sinopsis Drama India Ishq Mein Marjawan Episode 43, Senin (2/9/2019): Arohi Mencari Deep
Setelah itu, imbuh Murphi, Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).
“Berdasarkan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ada tiga syarat penerbitan SKPP, yaitu kurang cukup bukti, perbuatan yang disangkakan bukan tindak pidana, dan demi kepentingan hukum,” cetusnya.
SKPP, tutur Murphi, juga pernah digunakan Kejaksaan Agung atas instruksi Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjabat Presiden untuk membebaskan dua komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, yang menjadi tersangka penyalahgunaan wewenang dan sempat ditahan.
Melalui SKPP bernomor Tap-01/0.1.14/Ft.1/12/2009 dan Tap-02/0.1.14/Ft.1/12/2009 tertanggal 1 Desember 2009, Chandra dan Bibit dibebaskan.