Revisi UU KPK Dianggap Bentuk Penolakan Terhadap Upaya Melumpuhkan Kinerja KPK
Pegawai KPK protes upaya melumpuhkan KPK melalui 'operasi senyap' revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK di DPR.
Editor: Dewi Agustina
Akan tetapi, dalam draf revisi UU KPK disebutkan pada Pasal 3 bahwa KPK merupakan bagian dari lembaga pemerintah pusat.
"Apa yang kita dapat hari ini dengan UU KPK hari ini (yang berlaku) sudah jelas mengatakan bahwa KPK tidak boleh berada di bawah pengaruh kekuasaan manapun. Untuk sementara undang-undang yang ada sudah relevan dengan piagam PBB," kata Saut.
Yudi Purnomo mengatakan aksi ini sebagai bentuk penolakan terhadap upaya melumpuhkan kinerja KPK melalui revisi UU KPK.
Revisi UU KPK seperti lonceng kematian bagi KPK sekaligus bisa memupus harapan rakyat akan masa depan pemberantasan korupsi yang lebih baik.
"Padahal saat ini tidak ada masalah krusial di KPK sehingga harus ada kebutuhan revisi UU KPK.
Malah justru KPK sedang giatnya memberantas korupsi di mana dalam 2 hari kemarin ada 3 OTT, apalagi kejahatan korupsi di Indonesia begitu luar biasa," kata dia.
Tanpa terpublikasi pembahasan awal di media massa, tiba-tiba pada Kamis, 5 September 2019, para anggota DPR dalam Rapat paripurna DPR menyetujui usulan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sebagai usulan badan legislatif (baleg) DPR.
Baca: Melaney Ricardo Ungkap Hal yang Terjadi Setelah Nikita Mirzani Labrak Elza Syarief
Rapat tersebut hanya dihadiri 70 orang dari 560 jumlah seluruh anggota DPR RI periode 2014-2019, dan dipimpin Wakil Ketua DPR dari PDI Perjuangan, Utut Adianto.
Selain itu, usulan revisi undang-undang tentang keberlangsungan KPK ini hanya diputuskan dalam waktu 20 menit.
Tidak lama peristiwa tersebut, lima pimpianan KPK langsung menggelar jumpa pers untuk menyampaikan protes dan penolakan upaya revisi undang-undang KPK ini.
Mereka menyampaikan setidaknya ada sembilan persoalan dalam rancangan draft UU KPK yang tengah didorong oleh para anggota DPR ini.
Persoalan-persoalan itu adalah independensi KPK terancam, penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, sumber penyelidik dan penyidik dibatasi, dan penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Selanjutnya perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di tahap penuntutan dipangkas, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, serta kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.
Terlebih DPR juga tengah menggodok Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan mencabut sifat khusus dari Tindak Pidana Korupsi, sehingga keberadaan KPK terancam.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.