DPR Sahkan Revisi UU KPK, Pegiat Antikorupsi: KPK Dilemahkan
Dia mencontohkan, terkait keharusan bagi KPK untuk memperoleh izin dari Dewan Pengawas sebelum melakukan operasi penindakan.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna pada Selasa (17/9/2019).
Pegiat antikorupsi Hendrik Rosdinar menilai, ini adalah pelemahan KPK secara terstruktur.
"Ini adalah pelemahan terstruktur. KPK dilemahkan, pemberantasan korupsi mandeg," ujar Manajer Advokasi, Riset, Kampanye YAPPIKA ini kepada Tribunnews.com, Selasa (17/9/2019).
Dia menjelaskan, tujuh perubahan dalam UU KPK yang ditetapkan oleh DPR dan Pemerintah adalah upaya pelemahan KPK dan pemberantasan korupsi secara terencana.
Dia mencontohkan, terkait keharusan bagi KPK untuk memperoleh izin dari Dewan Pengawas sebelum melakukan operasi penindakan.
"Ini adalah bentuk pengebirian," jelas Hendrik Rosdinar.
Baca: DPR Sahkan UU KPK Hasil Revisi, Berikut 7 Poin Penting yang Direvisi
Selain itu imbuh dia, mengubah status pegawai KPK sebagai ASN membuat mereka sulit untuk bertindak independen.
"Semua itu tujuannya satu. Melumpuhkan KPK," tegasnya.
DPR Sahkan Revisi UU KPK
DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna pada Selasa (17/9/2019).
"Apakah pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dapat disetujui menjadi undang-undang?," tanya Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin sidang.
"Setuju," jawab seluruh anggota dewan yang hadir.
Pengesahan Undang-Undang KPK ini merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Perjalanan revisi ini berjalan sangat singkat.
Sebab, DPR baru saja mengesahkan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR pada 6 September 2019.
Dengan demikian, hanya butuh waktu sekitar 11 hari hingga akhirnya UU KPK yang baru ini disahkan.
Kemudian, Presiden Joko Widodo mengirim surat presiden sebagai tanda persetujuan pemerintah untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR pada 11 September 2019.
Pembahasan berlanjut pada 12 September 2019 saat perwakilan pemerintah membahasnya bersama Badan Legislasi DPR.
Hingga kemudian, pimpinan DPR menyetujui pengesahan revisi UU KPK menjadi UU KPK pada rapat paripurna, Selasa (17/9/2019).
7 poin Revisi UU KPK
Pemerintah dan DPR telah menyepakati seluruh poin atau daftar inventaris masalah ( DIM) RUU KPK.
Terdapat tujuh poin revisi antar Panitia kerja pemerintah dan Panitia kerja DPR RI yang disepakati pada Rapat Senin malam.
Adapun ketujuh poin tersebut:
Pertama, kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.
Kedua, terkait pembentukan Dewan Pengawas.
Lalu ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.
Keempat, mekanisme penerbitan SP3 oleh KPK.
Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan.
Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.
Tujuh poin kesepakatan pemerintah dan DPR tersebut kemudian diterima secara utuh oleh tujuh Fraksi DPR, diantaranya Fraksi PDI, Golkar, NasDem, PKB, PPP, PAN, dan Hanura.
Dua Fraksi yakni Gerindra dan PKS menerima dengan catatan, yakni soal Dewan Pengawas KPK. Sementara itu satu Fraksi lainnya yakni Demokrat belum memberikan tanggapannya.
"Sehingga 7 fraksi menerima itu secara utuh. Jadi itulah dinamika yang terjadi dalam rapat kerja semalam, bahwa fraksi partai Gerindra dengan fraksi partai keadilan sejahtera belum bisa menerima secara utuh menyangkut revisi UU KPK ini karena berkaitan dengan mekanisme pemilihan dari dewan pengawas," ujar Supratman, Selasa, (17/9/2019).