Formappi: Mekanisme Pembahasan Revisi UU KPK Timbulkan Preseden Buruk
Jika merujuk pada pembahasan dan pengesahan revisi UU KPK, DPR dan pemerintah sudah terjebak pada relasi kompromistis yang transaksional.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Senior Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia, Lucius Karus, menilai mekanisme pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dapat menimbulkan preseden buruk bagi pembahasan undang-undang ke depan.
Menurut dia, pembahasan undang-undang pada umumnya melibatkan peran masyarakat.
Dia menegaskan, masyarakat dapat dimintai pendapat dan masukan sebelum undang-undang disahkan.
"Bahkan pemikiran kritis masayarakat sipil mereka perdaya dengan membahas kilat RUU KPK. Masyarakat sipil terbengong-bengong, RUU disahkan! Saya kira ini tanda-tanda kurang baik ke depan," ujarnya, kepada wartawan, Rabu (18/9/2019).
Baca: Cara Membuat E-Paspor Online dan Keuntungan yang Didapat
Untuk membuat dan mengesahkan undang-undang secara berkualitas, kata dia, harus ada penggalian wacana dan pendalaman konsep. Dia menegaskan pembahasan revisi undang-undang tidak dapat dilakukan saat kondisi emosi.
Jika merujuk pada pembahasan dan pengesahan revisi UU KPK, dia melihat, DPR dan pemerintah sudah terjebak pada relasi kompromistis yang transaksional.
"Kalau kepentingan sudah diakomodasi sarana transaksinya bisa dalam bentuk uang atau barang. Menyedihkan bukan?" kata dia.
Dia menambahkan, kekompakan fraksi-fraksi di DPR RI dan pemerintah menjadi alarm bahaya akan potensi kesewenang-wenangan.
Lembaga kontrol secara mudah takluk, yang dikontrol juga bisa dengan mudah mengontrol pengontrol.
"Maka mereka semua bisa dengan mudah menjadi sewenang-wenang. Yang penting mereka sudah berkongkalingkong dan sama-sama puas, lalu dengan mudah mereka kompak memaksakan keinginan mereka untuk menjadi sebuah kebijakan," tambahnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.