Enggan Respon Masalah RUU Pemasyarakatan, Dirjen PAS: Tunggu Paripurna
Sri Puguh Budi Utami terlihat enggan merespon perihal RUU Pemasyarakatan yang disebut akan memudahkan para koruptor mendapat remisi.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dirjen PAS Sri Puguh Budi Utami terlihat enggan merespon perihal RUU Pemasyarakatan yang disebut akan memudahkan para koruptor mendapat remisi.
Hal ini terlihat, ketika Sri ditemui pasca acara Diseminasi Hasil Tes Hepatitis C bagi Narapidana di wilayah DKI Jakarta, Kamis (19/9).
Sri yang mengenakan kerudung warna kuning, meminta agar awak media menunggu pasca Rapat Paripurna DPR selesai dilakukan atau pada tanggal 24 September mendatang.
"Nanti kita tanggal 24 (September) baru Rapat Paripurna, sehingga kita belum bisa memberikan jawaban. Kita tunggu paripurna baru nanti kita sampaikan," ujar Sri, di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Jl Veteran no 11, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (19/9/2019).
"Setelah itu (pasca Rapat Paripurna, - red) nanti baru kita diskusi. Nanti kita lihat," kata dia lagi.
Baca: Dewan Pengawas, Potensi Munculnya Matahari Kembar di KPK
Sebelumnya diberitakan, DPR melalui Komisi III telah menyepakati pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (PAS) untuk disahkan dalam rapat paripurna.
Dalam revisi tersebut, terdapat satu poin yang menjadi sorotan yakni mengenai pemberian remisi terhadap terpidana kejahatan luar biasa yakni terorisme, narkoba dan koruptor.
Adanya revisi UU Pemasyarakatan sekaligus akan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Herman Hery mengatakan RUU PAS membuat aturan mengenai pemberian remisi kembali kepada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999.
Sekaligus membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 yang sebelumnya mengatur ihwal pemberian revisi.
"Jadi PP 99 Tahun 2012 tidak berlaku. Tidak ada PP-PPan lagi. Semua kembali ke KUHAP," kata Herman kepada wartawan, Rabu (18/9/2019).
Pada PP 99 Tahun 2012 diatur bahwa pemberian remisi terhadap terpidana kejahatan luar biasa harus melalui rekomendasi lembaga terkait.
Misalnya pemberian remisi untuk koruptor yang harus persetujuan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).
Herman berujar, RUU PAS membuat pemberian remisi tak lagi harus melalui rekomendasi lembaga terkait, namun dikembalikan berdasarkan keputusan pengadilan.
"Iya (PP 99 Tahun 2012) ada sejumlah persyaratan termasuk harus ada rekomendasi dari KPK. (Dalam revisi) tidak lagi. Otomatis PP 99 menjadi tidak berlaku karena semua dikembalikan ulang," ujarnya.
Dalam Pasal 43A tertera yang berhak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat adalah yang bersedia menjadi justice collaborator, menjalani hukum dua pertiga masa pidana, menjalani asimilasi setengah dari masa pidana yang dijalani dan menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan.
Sementara itu hasil revisi UU 12/1995 pasal 10 tertera semua narapidana berhak mendapat remisi hingga bebas bersyarat. Masih di pasal yang sama, mereka yang diberi itu harus memenuhi beberapa ketentuan.
Syarat yang harus dipenuhi yaitu berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko.