BNPB Akui Banyak Anggota Satgas Karhutla Belum Gunakan Peralatan Standar
Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapan BNPB Bernadus Wisnu Wijaya mengamini banyak Satgas Karhutla yang tidak menggunakan peralatan standar.
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapan BNPB Bernadus Wisnu Wijaya mengamini banyak Satgas Karhutla yang tidak menggunakan peralatan standar.
Akibatnya di beberapa lokasi, ada petugas Satgas yang terpapar gas karbon monoksida.
Terkait berapa jumlah Satgas yang terpapar, Bernadus Wisnu mengaku belum mendapatkan informasi terbaru.
Diketahui Di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, dampak kabut asap juga dirasakan anggota Satgas yang bekerja keras memadamkan api.
Dari data BNPB, 16 anggota Satgas terpapar gas karbon monoksida sehingga mereka diminta untuk istirahat selama dua minggu.
Baca: PBNU Gelar Pengajian Bersama Habib Umar Bin Hafidz
Baca: Praka Zulkifli, Sang Pembebas Sandera yang Gugur Saat Kerusuhan di Expo Waena
"Ini menjadi konsen kami, petugas-petugas di lapangan. Nanti kami siapkan dengan peralatan-peralatan yang memang standar untuk menangani ini (Karhutla). Kita tahu Indonesia terkait penanganan yang masif seperti itu, masih ada beberapa yang kita tingkatkan untuk safety daripada petugas," ungkap Wisnu dalam forum diskusi bertema : Tanggap Bencana Karhutla di Gedung Serbaguna Kemenkominfo, Senin (23/9/2019) di Jakarta Pusat.
Menurut Wisnu, sampai saat ini, baru Satgas yang dibina Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang paling lengkap peralatannya.
"Saya lihat yang sangat bagus, yakni yang dikelola oleh teman-teman dari LHK," tambah dia.
89 ribu hektare
Hutan dan lahan yang terbakar di sejumlah wilayah, baik Sumatera maupun Kalimantan mencapai 328.724 hektare.
Dari jumlah tersebut, 89 ribu hektar merupakan lahan gambut.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen Doni Monardo menyebut lahan gambut yang terbakar banyak berada di provinsi Riau mencapai 40.500 hektare.
Kemudian disusul Kalimantan Tengah sekitar 24 ribu hektare dan sisanya tersebar di Kalimantan Barat, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Ia menambahkan, karena yang terbakar 89 ribu hektare lahan gambut, penanganan pemadaman kebakaran hutan dan lahan terbilang sulit.
Baca: Andrea Dovizioso Pasrah Semakin Jauh dari Marc Marquez di Puncak Klasemen
Baca: Jadwal Tanding Wakil Indonesia di Korea Open 2019; Tommy Sugiarto Hadapi Wakil Malaysia
Baca: Mahasiswa Merangsek Masuk ke Halaman Gedung DPR-MPR RI Setelah Berhasil Merusak Pagar
"Kenapa tidak padam? karena yang terbakar sebagian besar adalah lahan gambut, dari 328 ribu hektar lahan yang terbakar, sekitar 89 ribu hektare adalah lahan gambut," ujar Doni saat konferensi pers di Graha BNPB, Pramuka, Jakarta Timur, Senin (23/9/2019).
Doni melanjutkan, data tersebut merupakan data dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), per 31 Agutus 2019, yang ditinjau dari satelit Sipongi.
Atas data tersebut, kemungkinan luasan lahan terbakar masih bertambah.
BNPB berkerja sama dengan TNI, BPPT, BNPB, Polri, KLHK, terus berupaya melakukan pemadaman
Diantaranya, pemadaman jalur darat, heli water bombing, maupun teknologi modifikasi cuaca (TMC).
BNPB mencatat telah menyiram 287.912.832 liter air dengan metode water bombing hingga penyemaian 176.016 kg garam untuk hujan buatan.
"Mari kita begandengan tangan untuk memberikan kontribusi apa yang bisa kita lakukan, termasuk masyarakat dapat menyiapkan masker, menyiapkan susu, memberikan ruangan berpendingin. Ini segala sesuatunya tentu perlu gotong royong," kata Doni.
Tidak efektif
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, mengatakan water bombing kurang efektif dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Ia mengatakan, api belum tentu padam meskipun telah dilakukan water bombing pada lahan yang terbakar, khususnya di kawasan lahan gambut.
"Sejauh ini kegiatan penanganan dengan hel water bombing ternyata juga tidak begitu efektif, karena banyak lahan-lahan yang sudah disiram menggunakan water bombing namun secara keseluruhan apinya belum padam," ujar Doni Monardo dalam konferensi pers di Graha BNPB, Pramuka, Jakarta Timur, Senin (23/9/2019).
Baca: Banyak Pemotor Serobot Jalur Sepeda, Dishub DKI Kerahkan Patroli Petugas Setiap Tiga Jam
Baca: Kesaksian Tetangga Terduga Teroris Cilincing soal Bom: Kata Densus, Kesenggol Dikit 3 Rumah Habis
Baca: 7 Mi Yamin Enak di Bandung dengan Beragam Pilihan Topping Lezat
Menurut BNBP, berdasarkan penanganan karhutla di 6 provinsi yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, maupun Kalimantan Tengah, water bombing jauh lebih efektif dilakukan pada karhutla berskala kecil.
"Iya kurang efektif kalau dilakukan operasi bom air pada karhutla yang besar, sementara untuk skala kecil sangat efektif," tambah Pelaksana Tugas (plt) Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Agus Wibowo.
Sementara, penanganan karhutla dengan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) akan dipertimbangkan terus dilakukan, mengingat hasilnya berdampak cukup signifikan.
Doni menuturkan, BNPB akan terus bekerja sama dengan Mabes TNI, BPPT, BMKG, dan BMKG.
"Pada hari Jumat lalu, operasi teknologi modifikasi cuaca, memberikan hasil yang cukup signifikan, terutama di 4 provinsi itu," jelas Doni.
Pertumbuhan awan
Penanganan bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melanda sejumlah daerah di Indonesia membutuhkan sinergi dengan berbagai pihak termasuk Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
BMKG telah bersinergi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam hal mitigasi dampak kemarau panjang.
Satu di antaranya pelaksanaan operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) yang dilakukan Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) BPPT.
Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG A Fachri Radjab mengatakan saat ini telah disiapkan 3 posko TMC yang berlokasi di Pekanbaru, Pontianak, dan Palangkaraya.
Baca: Ramon Y Tungka Harapkan Ekspresi Jujur Penonton Saat Saksikan Film Martabak Bangka
Terkait modifikasi cuaca, BMKG bertugas memberikan informasi terkait kondisi cuaca.
"BMKG aktif memberikan dukungan penyediaan informasi kondisi cuaca dan penugasan personil," ujar Fachri dalam keterangan tertulisnya, Jumat (20/9/2019).
Pemberian informasi terkait prediksi potensi pertumbuhan awan hujan yang nantinya akan ditindaklanjuti BBTMC BPPT dalam melakukan operasi TMC.
Prediksi tersebut berlaku hingga 22 September 2019.
Baca: Pertanyakan Keputusan Presiden, Haris Azhar: Kenapa UU KPK Enggak Dapat Masukan Masyarakat?
"Informasi rutin yang diberikan berupa prediksi potensi pertumbuhan awan hujan dan sebarannya yang berlaku hingga dua hari ke depan," kata Fachri.
Kemudian BMKG juga melakukan tugas lainnya yakni memantau kondisi pertumbuhan serta perkembangan awan secara rutin.
Pemantauan dilakukan melalui penggunaan radar cuaca.
"Serta pemantauan rutin kondisi pertumbuhan dan perkembangan awan menggunakan radar cuaca setiap 10 menit," jelas Fachri.
Menurutnya, informasi tersebut sangat diperlukan untuk pelaksanaan operasi TMC yakni penentuan rute penerbangan dalam menyemai garam pada pertumbuhan awan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.