Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kasus Teror Penyidik KPK Novel Baswedan, PR Besar Buat Kabinet Jokowi

Peneliti ICW Wana Alamsyah menilai kerja tim tersebut belum berhasil mengungkap pelaku serta otak teror air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswdan.

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Kasus Teror Penyidik KPK Novel Baswedan, PR Besar Buat Kabinet Jokowi
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Penyidik KPK Novel Baswedan bersiap memberikan kesaksian bagi terdakwa mantan anggota Komisi II DPR Markus Nari pada sidang lanjutan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (9/10/2019). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan tiga orang saksi yang dihadirkan JPU KPK yakni mantan anggota Komisi V DPR yang juga terpidana kasus korupsi pengadaan KTP elektronik Miryam S. Haryani, Penyidik KPK Novel Baswedan, dan jaksa KPK Heryawan Agus. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin telah resmi menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024.

Mereka berdua mulai memegang tampuk pemerintahan pada Minggu (20/10/2019) kemarin, setelah melalui serangkaian proses pelantikan di Gedung MPR/DPR, Jakarta.

Oktober ini pula bertepatan dengan nyaris berakhirnya tenggat tiga bulan yang diberikan Presiden Jokowi kepada Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk mengungkap dalang penyerangan Penyidik KPK Novel Baswedan.

Diketahui, sejak 11 April 2017 hingga kini, dalang teror penyiraman air keras terhadap salah satu penyidik senior KPK belum dapat diungkap.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menduga sulitnya pengungkapan perkara bukan karena ketidakmampuan anggota tim pengusutan, melainkan lantaran indikasi keterlibatan petinggi Polri.

Itu sebab kata dia, penting untuk membentuk tim independen yang bekerja langsung di bawah presiden.

Berita Rekomendasi

"Kasus Novel Baswedan adalah ujian sejarah bagi pemerintahan Jokowi. Jadi jika pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) memiliki kasus Munir sebagai ujian sejarahnya, maka kasus Novel Baswedan adalah ujian sejarah bagi pemerintahan saat ini," ujar Usman kepada wartawan, Senin (21/10/2019).

Munir Said Thalib yang disebut Usman adalah aktivis HAM yang dibunuh dengan racun arsenik dalam perjalanannya dari Indonesia menuju Belanda pada 2004 silam.

Pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ini dikenal aktif mendampingi korban pelanggaran HAM dan mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai tak adil.

Beberapa pelaku lapangan sudah ditahan namun tetap menerima pengurangan hukuman, sedangkan dalang pembunuhan hingga kini belum berhasil diungkap.

Baca: Keluarga Janda di Sragen Hajatan Nikahkan Anaknya, Tak Ada Tetangga yang Datang Hanya Gara-gara Ini

Sementara, Indonesia Corruption Watch mencatat lebih dari 300 orang unsur kepolisian serta para pakar, terlibat pengusutan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.

Sejak penyerangan pada 11 April 2017, setidaknya sudah ada tiga tim yang dibentuk.

Baca: Dipanggil Ke Istana, Ini Wawancara Tribunnews.com dengan Erick Thohir Soal Kursi Menteri

Peneliti ICW Wana Alamsyah menilai kerja tim tersebut belum juga berhasil mengungkap pelaku serta otak teror air keras yang mengakibatkan mata Novel nyaris buta.

Padahal kata dia, anggota tim telah memeriksa puluhan saksi, puluhan rekaman CCTV juga lebih 100 toko bahan kimia.

Baca: Tokoh Maluku: Erick Thohir Tak Sukses Pimpin TKN karena Gagal Menangkan Jokowi- Amin Secara Absolut

"Bagaimana bukti yang telah dicek? Ada sekitar 74 orang yang telah diperiksa, 38 rekaman CCTV dan 114 toko penjual bahan-bahan kimia. Lalu, bagaimana kemudian selama 2 tahun enam bulan kasus Novel Baswedan tidak kunjung ada titik terangnya. Lalu apakah kepolisian gagal? Ya memang gagal," kata Wana kepada wartawan, Senin (21/10/2019).

"Sehingga apa yang harus dilakukan Jokowi saat ini, membentuk TGPF Independen adalah waktu yang tepat," katanya lagi.

Wana merinci, tim pertama dibentuk pada 12 April 2017 oleh Kapolda Metro Jaya saat itu, Idham Aziz.

Mantan anggota Komisi V DPR Miryam S. Haryani (tengah) bersama penyidik KPK Novel Baswedan (kanan) memberikan kesaksian bagi terdakwa mantan anggota Komisi II DPR Markus Nari pada sidang lanjutan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (9/10/2019). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan tiga orang saksi yang dihadirkan JPU KPK yakni mantan anggota Komisi V DPR yang juga terpidana kasus korupsi pengadaan KTP elektronik Miryam S. Haryani, Penyidik KPK Novel Baswedan, dan jaksa KPK Heryawan Agus. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Mantan anggota Komisi V DPR Miryam S. Haryani (tengah) bersama penyidik KPK Novel Baswedan (kanan) memberikan kesaksian bagi terdakwa mantan anggota Komisi II DPR Markus Nari pada sidang lanjutan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (9/10/2019). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan tiga orang saksi yang dihadirkan JPU KPK yakni mantan anggota Komisi V DPR yang juga terpidana kasus korupsi pengadaan KTP elektronik Miryam S. Haryani, Penyidik KPK Novel Baswedan, dan jaksa KPK Heryawan Agus. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Sementara tim kedua dibentuk Januari 2019 oleh Kapolri Tito Karnavian yang disebut sebagai Tim Gabungan Pencari Fakta.

Baca: Fadli Zon Disebut-sebut Masuk Bursa Calon Menteri di Kabinet Jokowi, Segini Daftar Kekayaannya

Kemudian tim ketiga dibentuk pada Agustus 2019, yakni tim teknis yang dibuat atas rekomendasi tim sebelumnya di bawah komando Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Nico Afinta.

Namun hingga 2,5 tahun pengusutan, kasus tersebut tak kunjung menemui titik terang. Karena itu, sejumlah pegiat HAM dan pakar hukum mendesak Presiden Jokowi tak lagi berkilah dan segera membentuk Tim Pencari Fakta Gabungan (TGPF) Independen.

Baca: Inilah Sosok M Sabilul Alif, Ajudan Pribadi Wapres Maruf Amin yang Pintar Ngaji

Di sisi lain, Koordinator KontraS Yati Andriyani memperingatkan, keengganan Jokowi untuk membentuk TGPF Independen hanya akan menghancurkan wibawa presiden dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

"Dua tahun adalah waktu yang sudah sangat panjang dan perlu bagi presiden untuk menyatakan bahwa Polri gagal mengungkap kasus serangan terhadap Novel Baswedan. Dan kegagalan ini tidak bisa kita taruh sebagai kegagalan Polri, tetapi juga tamparan terhadap kewibawaan presiden sebagai pimpinan dari kepolisian," kata Yati kepada wartawan, Senin (21/10/2019).

Kalangan masyarakat sipil pun telah menuliskan surat terbuka guna mendesak penyelidikan menyeluruh atas teror air keras terhadap Novel Baswedan.

Surat ini hendak mengingatkan presiden terpilih Jokowi akan salah satu janji kampanye mengenai perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas