Prabowo Jadi Calon Menteri, Peneliti LIPI: Indonesia Jadi Negara Kekeluargaan, Mengancam Demokrasi
"Buat apa kita mengadakan pemilu kalau ujung-ujungnya kekuasaan itu dibagi-bagi antara yang menang dan yang kalah?"
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengkritik upaya Presiden Joko Widodo mengajak pihak oposisi untuk bergabung dalam kabinetnya.
Ia mencontohkan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Gerindra Edhy Prabowo yang dipanggil oleh Jokowi ke Istana Kepresidenan. Mereka diproyeksikan menjadi calon menteri.
Padahal, Prabowo dan partainya merupakan kompetitor Jokowi dalam Pilpres 2019.
"Buat apa kita mengadakan pemilu kalau ujung-ujungnya kekuasaan itu dibagi-bagi antara yang menang dan yang kalah? Ya kalau kompetisi sepak bola ibarat semua dapat piala," kata Syamsuddin dalam diskusi bertajuk Mencermati Kabinet Jokowi Jilid 2 di Upnormal Raden Saleh, Jakarta, Selasa (22/10/2019).
Ia menilai, hal semacam itu bertentangan dengan rasionalitas demokrasi. Sebab, dalam kompetisi pilpres, pihak yang menang berhak berkuasa.
Sementara itu, pihak yang kalah harus legawa dan berperan sebagai oposisi pemerintah.
Baca: Cerita Lengkap Nyasarnya Bus Sudiro Tungga Jaya di Tepi Jurang Hutan Wonogiri
"Bukan kemudian diajak masuk semua. Kalau semua diajak masuk atau katakanlah enggak ada oposisi atau cuma tinggal PKS, ini bisa membawa apa yang disebut model negara integralistik, model negara kekeluargaan, ini sungguh-sungguh mengancam demokrasi," kata dia.
Syamsuddin mengatakan, dalam konsep negara seperti itu, tidak ada oposisi.
Semua diibaratkan sebagai keluarga sehingga tidak mungkin kepala keluarga menyakiti anggota keluarga, begitu pula sebaliknya.
Baca: Wagub Baru DKI Akan Dilantik Sebelum Akhir Tahun
"Mestinya Pak Jokowi tidak usah mengajak Gerindra ke kabinet, dan semestinya Pak Prabowo dan teman-teman menolak ajakan itu, tetapi ya mau bagaimana lagi, sudah kejadian," kata dia.
Baca: Keluarga Janda di Sragen Hajatan Nikahkan Anaknya, Tak Ada Tetangga yang Datang Hanya Gara-gara Ini
Ia memandang ini bentuk pendangkalan dalam esensi berpolitik. Seharusnya, kata dia, kegiatan berpolitik yang patut dijunjung tinggi adalah politik yang menghargai posisi masing-masing, pendukung pemerintah dan oposisi pemerintah.
"Atau politik yang menjunjung tinggi sportivitas, yang kalah mengakui yang menang dan yang menang mengangkat yang kalah," kata dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Prabowo Calon Menteri, Peneliti LIPI: Buat Apa Pemilu kalau Ujungnya Kekuasaan Dibagi?
Penulis : Dylan Aprialdo Rachman
S