Kenaikan Iuran BPJS Capai 100 Persen, Praktisi: JKN Perlu Berbenah
Kepastian naiknya iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 100 persen sudah diketok palu oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Kepastian naiknya iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 100 persen sudah diketok palu oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Akademisi sekaligus praktisi pelayanan kesehatan, dr Tonang Dwi Ardyanto, SpPK, Ph.D, menerangkan perlunya ada pembenahan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai penyedia BPJS Kesehatan untuk masyarakat.
"Sistem JKN memang masih perlu pembenahan," tutur Tonang saat dihubungi Tribunnews.com lewat pesan WhatsApp, Rabu (30/10/2019) kemarin.
Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Direktur Pelayanan RS UNS Solo ini meminta layanan BPJS Kesehatan tidak boleh dihentikan.
"Tetapi dengan manfaat yang sudah banyak, JKN tidak boleh kemudian justru dihentikan," lanjutnya.
Tonang menambahakan terkait pembenahan, JKN bisa menempuh dua langkah awal.
Pertama JKN diminta lebih konsisten dan konsekuen terhadap regulasi sesuai dengan Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial UU (BPJS).
Baca: Tarif Iuran BPJS Naik, Apakah Ada Kenaikan Mutu dan Kualitas Layanan Kesehatan?
Langkah kedua pembenahan secara umum terhadap teknis dalam prosedur pelayanan BPJS Kesehatan kepada masyarakat.
"Langka pertama konsisten dan konsekuen terhadap regulasi JKN sejak UU SJSN dan UU BPJS. Itu modal pertama dan utama. Selanjutnya lebih mudah untuk menguraikan secara teknis," tambah Tonang.
Terkait kenaikan iuran BPJS, Tonang menjelaskan pada dasarnya iuran BPJS Kesehatan memiliki prinsip gotong royong.
"JKN diselenggarakan sebagai asuransi sosial. Prinsipnya gotong royong."
"Dengan menggunakan kekuatan jumlah besar, maka iuran dapat diupayakan relatif rendah," ungkap Tonang.
Tonang melanjutkan, dalam regulasi JKN sebetulnya sudah ada langkah untuk menentukan besaran iuran yang harus dibayar oleh peserta BPJS Kesehatan.
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Naik 100 Persen, Apa Dampak untuk Masyarakat? Ini Jawabannya
Menurutnya, besaran iuran memang seharusnya ditinjau kembali selambat-lambatnya setiap dua tahun.
Peninjauan tersebut berfungsi untuk meningkatkan pelayanan sekaligus menghindari defisit anggaran.
"Harapannya ada dua, pertama utilitas pelayanan makin terasa, dan kedua perhitungan beban iuran juga makin mendekati akurasinya," kata pria yang juga menjabat sebagai Wakil Direktur Pelayanan RS UNS Solo ini.
Lebih lanjut, dengan perhitungan tersebut dapat diestimasikan besaran selisih yang akan terjadi antara besaran iuran dengan defisit anggaran.
"Dulu kita menyebutnya missedmatch, kemudian unfunded, sekarang kita sebut sebagai defisit."
"Jadi sebenarnya defisit itu sudah diestimasikan. Sudah pula dicadangkan anggaran untuk menutupnya," lanjutnya.
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Naik 100 Persen, Ini Komentar Praktisi Pelayan Kesehatan
Tonang menambahkan, setidaknya ada tiga cara untuk mengatasi masalah defisit BPJS Kesehatan.
"Pilihannya ada 3, menyesuaikan iuran, mengurangi cakupan penjaminan dan memberikan dana tambahan."
"Kali ini, pemerintah memilih opsi pertama menyesuaikan iuran," kata Tonang.
Ditanya soal kenaikan dua kali iuran BPJS Kesehatan, Tonang menyayangkan kenaikan tersebut.
"Relatif sebenarnya. Seharusnya tidak akan terjadi kenaikan signifikan sebesar itu, bila peninjauan berkala kita taati."
"Sekarang sudah terlanjur berat, sehingga penyesuaian sampai dua kali lipat," tandasnya.
Baca: Istana Minta Masyarakat Memahami Putusan Pemerintah Naikan Iuran BPJS Kesehatan
Ia juga memberi catatan jika menaikkan iuran BPJS Kesehatan tidak serta merta menutup menutup defisit yang terjadi.
"Kenaikan iuran akan berdampak ke depan. Sementara defisit yang sudah terlanjur terjadi kemarin sampai hari ini, tetap harus ditutup dengan cara lain," jelasnya.
Komentar beragam dari masyarakat
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan mendapat tanggapan beragam dari masyarakat.
Ada yang menyetujui kenaikan tersebut, ada pula yang menyayangkan.
Seperti yang diungkapkan Irma Patriana, peserta BPJS Kesehatan mandiri kelas I.
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Naik, Menkes Terawan Siap Perbaiki Agar Defisit Tidak Terulang
Ia mengamini kenaikan tersebut dengan catatan pembayaran iuran dibarengi peningkatan kualitas fasilitas kesehatan yang diperoleh.
"Oke saja selama semua fasilitas sesuai kelas dan pelayanan kesehatan terus terjamin, naik dua kali lipat lebih bisa mengingatkan bahwa kesehatan itu mahal," ujarnya kepada Tribunnews.com, Rabu (30/10/2019) kemarin.
Warga Kepanjen, Kabupaten Malang itu berharap dengan kebijakan yang akan diterapkan di tahun depan bisa membuat masyarakat sadar akan pentingnya kesehatan.
"Ya kalo mau naik iurannya tidak masalah, biar semua orang sadar kalo sehat itu mahal," tegas perempuan berusia 25 tahun ini.
Hal berbeda diungkapkan pria asal Desa Sungelebak, Kecamatan Karanggeneng, Kabupaten Lamongan, Rizal Fauzi.
Saat dihubungi Tribunnews.com, ia tidak setuju dengan adanya kenaikan Iuran BPJS Kesehatan.
Baca: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Dinilai Jadi Beban Bagi Peserta Mandiri
Menurut pria yang sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan sejak 2016 ini perlu adanya perbaikan pelayanan sebelum ada kenaikan iuran.
"Tidak setuju dengan iuran yang sekarang ini, apa-apa harus ngurus ini itu dan prosedurnya ribet. Kadang juga pelayanan kesehatan untuk peserta BPJS tidak maksimal," ungkap Fauzi.
Fauzi berpendapat dengan kenaikan hampir 100 persen membuat masyarakat berpikir ulang untuk membayar iuran dan memilih ditabung sendiri.
"Masih mikir-mikir juga lanjut bayar tiap bulan atau stop BPJS. Mendingan ditabung sendiri," tandasnya.
Besaran iuran BPJS Kesehatan terbaru
Dalam dokumen Perpres 75 Tahun 2019 yang diakses Tribunnews.com, Selasa (29/10/2019) malam, iuran BPJS bagi Peserta Bukan Penerima Iuran (PBPU) dan BP ditetapkan naik menjadi Rp 42.000 bagi Kelas III dari sebelumnya sebesar Rp 25.500.
Adapun untuk Kelas II, besaran iuran dinaikkan menjadi sebesar RP 110.000 dari sebelumnya Rp 51.000.
Kemudian untuk Kelas I naik menjadi Rp 160.000 dari sebelumnya Rp 80.000.
Kenaikan iuran BPJS kelas mandiri itu tertuang dalam pasal 34.
Sedangkan untuk iuran peserta PBI Jaminan Kesehatan yang didaftarkan pemerintah daerah yang semula sebesar Rp 23.000 dinaikkan menjadi sebesar Rp 42.000.
Kenaikan iuran peserta PBI ini diberlakukan mulai 1 Agustus 2019 lalu.
Selengkapnya Perpres 75 Tahun 2019 bisa Anda akses di tautan ini: Link
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.