Penjelasan Kemenang Soal Salam Lintas Agama yang Jadi Polemik Pasca-Imbauan MUI Jatim
Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Kementerian Agama (Kemenag), Muchlis M Hanafi kini angkat bicara menjelaskan polemik salam lintas agama
Penulis: Nidaul 'Urwatul Wutsqa
Editor: Daryono
"Terlalu jauh bila dimaknai sebagai pengakuan dan permohonan doa kepada tuhan selain Allah yang menyalahi akidah."
"Sama halnya dengan ucapan selamat natal yang biasa diucap saat perayaan natal," kata dia.
Tetapi, melihat dari itu semua, Muchlis juga menegaskan, apabila masyarakat umum atau masyarakat biasa (bukan tokoh) yang tidak ada kepentingannya dengan salam tersebut, maka sebaiknya tidak perlu ikut-ikutan mengucapkannya
Salam lintas agama hanyalah bertujuan untuk menebar damai di antara kalangan ragam beragama.
Adanya polemik mengenai salam lintas agama ini berawal dari beredarnya surat imbauan MUI Jawa Timur.
Surat edaran tersebut Nomor 110/MUI/JTM/2019 yang diteken Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Ainul Yaqin.
Dalam surat itu menyatakan bahwa mengucapkan salam semua agama merupakan bidah, mengandung nilai syubhat, dan patut dihindari umat Islam.
Surat imbauan tersebut dikeluarkan berdasarkan pada putusan Dewan Pimpinan MUI Jawa Timur yang merujuk pada rekomendasi Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI 11-13 Oktober 2019 di Nusa Tenggara Barat.
Melansir dari Tribunnews.com, ada 8 poin dalam surat imbauan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yakni menyerukan kepada umat Islam dan kepada pemangku kebijakan agar tidak menggunakan salam lintas agama termasuk dalam sambutan-sambutan di acara resmi.
Dengan kata lain MUI Jatim meminta umat muslim mengucapkan salam sesuai dengan agamanya (Islam). (*)
(Tribunnews.com/Nidaul 'Urwatul Wutsqa)