Fahri Hamzah Tak Masalah Jika Jokowi Terlibat Mengatur Penempatan Posisi Ahok di BUMN
Fahri Hamzah mengaku tidak masalah jika Jokowi ikut mengatur posisi Ahok di perusahaan BUMN.
Penulis: Nuryanti
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengaku tidak keberatan jika Presiden Jokowi terlibat dalam pemilihan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok untuk memimpin perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Fahri Hamzah mengaku tidak masalah jika Jokowi ikut mengatur posisi Ahok di perusahaan BUMN.
Baca: Pemuda Tendang Orangtua Hingga Tersungkur, 'Koe Mbiyen Wes Ngajar Aku, Padakne Aku Ora Kelingan'
"Misalnya Basuki masuk Pertamina ini dari presiden, tidak apa-apa," ujarnya, dilansir dari YouTube KOMPASTV, Kamis (21/11/2019).
Menurutnya, Presiden Jokowi harus mengungkapkan terkait keputusannya dalam pemilihan Ahok itu.
"Presiden harus membela keputusannya, jangan diam-diam, kan kasian Basuki juga," jelasnya.
Ditanya mengenai alasan dari pernyataannya itu, Fahri berujar jika Jokowi mengatakan ikut mengatur, seharusnya Presiden juga harus membela pemilihan Ahok itu.
"Kalau dia mengatakan itu adalah perintah saya (Jokowi), atau saya yang menugaskan, saya yang meminta, kalau kemudian memang Kementerian BUMN yang memilih, Kementerian BUMN yang membela, Presiden juga harus membela," jelasnya.
Ia berharap Presiden Jokowi segera membuka alasan pemilihan Ahok itu, jika memang Jokowi ikut terlibat.
"Jangan diam-diam, kayaknya ini dengan sendirinya begitu, jangan begitu, kasian juga orang yang mendapat amanah ini," lanjutnya.
Dirinya menambahkan, tidak menghalangi pemilihan Ahok tersebut, asalkan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
"Kenapa kita harus menghalang-halangi orang yang punya hak menurut Undang-undang melakukan itu," kata Fahri.
Ia berujar, jika pemilihan Ahok tidak sesuai dengan Undang-Undang, maka Presiden dan Kementerian BUMN akan menerima resiko politiknya.
"Resiko politiknya akan diterima oleh Presiden, resiko politiknya akan diterima oleh BUMN," ujarnya.
Ia menuturkan, resiko mendapat kritikan dan tidak populer akan diterima oleh Presiden dan Kementerian BUMN.