Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mahfud MD Beberkan Upaya Pemerintah Indonesia Selesaikan Masalah Muslim Uighur di China

Sejak lama, Menteri Luar Negeri (Menlu) juga telah menempuh langkah-langkah yang mengarah pada penyelesaian masalah.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Mahfud MD Beberkan Upaya Pemerintah Indonesia Selesaikan Masalah Muslim Uighur di China
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD berpose usai wawancara khusus dengan Tribunnews.com di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (19/11/2019). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA  - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan ( Menko Polhukam) Mahfud MD menuturkan bahwa pemerintah Indonesia ikut berupaya menyelesaikan masalah Muslim Uighur di China.

Sejak dulu, kata Mahfud, pemerintah berupaya untuk melakukan diplomasi lunak dan tidak bersifat konfrontatif.

"Dalam diplomasi lunak, sejak dulu kita menjadi penengah dan mencari jalan yang baik, bukan konfrontatif," kata Mahfud saat ditemui di Hotel Aryaduta, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2019).

Mahfud mengatakan, persoalan Muslim Uighur bukanlah hal yang baru.

Sejak lama, Menteri Luar Negeri (Menlu) juga telah menempuh langkah-langkah yang mengarah pada penyelesaian masalah.

Baca: Media Asing Sebut Alasan Ormas Islam Indonesia Bungkam Terkait Pelanggaran HAM Muslim Uighur China

Berbagai kelompok masyarakat pun ikut andil dalam hal ini, mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), hingga organisasi kemasyarakatan berbasis keagamaan seperti Muhammadiyah.

Menurut Mahfud, persoalan Muslim Uighur memang tidak bisa diabaikan. Akar dari masalah itu juga harus diketahui.

BERITA TERKAIT

Oleh karenanya, masalah tersebut harus dilihat secara lebih obyektif.

"Di China itu kawasan muslim kan banyak juga bukan hanya Uighur. Saya pernah ke Beijing, ke berbagai tempat lain, aman-aman aja tuh. Tapi kok di Uighur terjadi seperti itu, ada apa?," ujar Mahfud.

"Kita harus lebih obyektif melihat seluruh persoalan itu," lanjutnya.

Mahfud menegaskan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri akan terus mengupayakan diplomasi lunak.

"Untuk itu nanti Bu Menlu melalui diplomasi lunaknya, bebas aktifnya, akan melakukan langkah-langkah yang baik, untuk kebaikan umat manusia," kata dia.

PBB dan sejumlah kelompok HAM memprediksi, ada satu juta orang, sebagian besar Muslim Uighur, ditahan di kamp di Xinjiang.

Sebuah dokumen yang dirilis pada November lalu sempat mengungkapkan bagaimana penanganan yang dilakukan Beijing terhadap etnis minoritas itu.

China membantah telah melakukan kekerasan terhadap Uighur, dan beralasan mereka berusaha melakukan kampanye anti-terorisme.

Sebelumnya, surat kabar Wall Street Journal melaporkan bahwa pemerintah China mendanai sekelompok delegasi asal Indonesia yang terdiri dari organisasi Islam dan wartawan untuk berkunjung ke Xinjiang dalam upaya meraih dukungan internasional dan membentuk opini publik.

Tudingan bahwa dua ormas Islam terbesar Indonesia dibungkam dengan gelontoran dana dari pemerintah China agar tidak menyuarakan penderitaan Muslim Uighur di Xinjiang, China langsung dibantah oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Namun, Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masduki Baidlowi seperti dikutip dari BBC Indonesia menyebut bahwa tudingan itu "tidak benar".

Umat Islam yang tergabung dari berbagai Organisasi Masyarakat (Ormas) di Banda Aceh berdoa bersama dalam aksi solidaritas kepada umat Muslim Uighur Cina di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Jumat (21/12/2018). Krisis Hak Asasi manusia terhadap umat Muslim di Cina semakin memuncak setelah adanya pelarangan untuk beribadah. SERAMBI INDONESIA/M ANSHAR
Umat Islam yang tergabung dari berbagai Organisasi Masyarakat (Ormas) di Banda Aceh berdoa bersama dalam aksi solidaritas kepada umat Muslim Uighur Cina di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Jumat (21/12/2018). Krisis Hak Asasi manusia terhadap umat Muslim di Cina semakin memuncak setelah adanya pelarangan untuk beribadah. SERAMBI INDONESIA/M ANSHAR (SERAMBI INDONESIA/M ANSHAR)

Dia beralasan kunjungan perwakilan organisasinya bersama Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Februari silam adalah untuk memastikan pemberitaan terkait adanya dugaan pelanggaran HAM berat dan kamp-kamp konsentrasi yang didedikasikan untuk Muslim Uighur di Xinjiang.

"Setelah sampai sana, ternyata memang ada sebagian pemberitan itu benar, ada yang tidak."

"Memang tidak ada kamp konsentrasi yang dibayangkan ada penyiksaan segala macam, karena yang terjadi itu semacam kelas-kelas pelatihan yang sangat besar. Orang-orang yang terpapar radikalisme memang dilatih vokasi.

"Tetapi yang menjadi problem buat kami, saudara-saudara muslim kami disana tidak mendapat hak-hak sepenuhnya, terutama dalam hal beribadah. Ini yang menjadi soal buat kami," ujar Masduki.

Organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah, juga membantah dan menyebut tudingan itu "tidak berdasar" dan "fitnah".

Sekjen Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengakui kunjungan perwakilan organisasinya bersama NU dan MUI, ke beberapa pusat pelatihan untuk Muslim Uighur di Xinjiang Februari lalu diadakan atas undangan pemerintah China.

Dia pula menegaskan, kunjungan itu tidak membuat sikap mereka terhadap pelanggaran HAM, melunak.

Demonstrasi menentang persekusi pemerintah China terhadap Muslim Uighur digelar di depan Kedutaan Besar China di Jakarta, Desember silam.

"Sikap Muhammadiyah, tidak pernah berubah. Muhammadiyah akan senantiasa menyampaikan sikap dan pandangannya berdasar prinsip-prinsip dakwah amar ma'ruf nahi munkar."

"Oleh karena itu dalam kaitannya dengan pelanggaran HAM itu, Muhammadiyah akan senantiasa tegas dan menentang segala bentuk pelanggaran HAM di mana pun, oleh siapa pun, kepada siapa pun," ujar Mu'ti dalam keterangan pers, Selasa (17/12/2019).

Dia pun mendesak pemerintah Indonesia agar menindaklanjuti arus aspirasi umat Islam dan bersikap lebih tegas untuk menghentikan pelanggaran HAM di Xinjiang sesuai dengan amanat UUD 1945 dan politik luar negeri yang bebas aktif.

"Pemerinta Indonesia hendaknya lebih aktif menggunakan peran sebagai anggota OKI dan anggota tidak tetap Dewan KEamanan PBB untuk menggalang diplomasi dihentikannya pelanggaran HAM di Xinjiang dan beberapa negara lainnya," ujarnya.

Tidak ada kebebasan beragama di Xinjiang

Dalam kunjungan tersebut, rombongan ormas Islam dari Indonesia yang terdiri dari 15 orang menemukan adanya pelanggaran HAM berupa dikekangnya kebebasan beragama yang dialami Muslim Uighur, seperti diungkapkan oleh salah satu delegasi yang juga merupakan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi.

"Kunjungan ke beberapa tempat, masjid, ke insitut agama Islam semakin meyakinkan kami bahwa tidak ada kebebasan beragama, freedom of religion itu tidak terbukti," ujar Muhyiddin.

Demonstrasi serupa juga digelar di Banda Aceh.

Hal ini disebabkan dalam konstitusi China disebutkan bahwa agama hanya bisa dipraktikkan di ruang tertutup dan dilarang dipraktikkan di ruang terbuka.

"Kalau menggunakan jilbab dan keluar ruangan, Anda dianggap radikal. Kalau Anda radikal maka Anda berhak dikirim ke re-education center."

"Selama di re-education center, tidak boleh sholat, tidak boleh puasa, tidak boleh baca Al Quran, makan seadanya yang disajikan pemerintah dan itu under heavy surveilance," tuturnya.

Gambaran yang disampaikan Muhyiddin konsisten dengan berbagai temuan sejumlah lembaga internasional.

Para pakar mengatakan kepada BBC bahwa apa yang terjadi di balik pagar kamp bisa dikategorikan sebagai "penyiksaan psikologis".

PBB memperkirakan sekitar satu juta Muslim Uighur ditahan di kamp-kamp penjara yang oleh pemerintah China disebut pusat re-edukasi.

Meski tudingan kucuran dana dari pemerintah China itu ditampik oleh NU dan Muhamadiyah, laporan lembaga pemikir IPAC mengungkap apa yang disebut 'hubungan harmonis' antara dua ormas Islam besar di Indonesia itu dengan pemerintah China, sudah berlangsung lama.

"Bantuan-bantuan donasi atau funding terhadap NU dan Muhammadiyah sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak Indonesia membuka hubungan diplomatik kembali dengan China di akhir 1990an," ujar peneliti IPAC, Deka Anwar.

'Hubungan harmonis' antara ormas Islam dan pemerintah China
Dalam laporannya, IPAC menyebut bahwa kedua ormas telah menandatangani kerjasama dengan pemerintah China dalam hal bantuan pendidikan, kesehatan dan pemberantasan kemiskinan.

IPAC menemukan bahwa pada bulan Ramadhan 2015, Kedutaan Besar China di Jakarta mendonasikan Rp 100 juta untuk anak-anak yatim piatu di Nahdlatul Ulama.

Pada 2018, Kedutaan Besar China mendonasikan fasilitas instalasi sanitasi di beberapa desa yang dihuni anggota NU di Cirebon, Indramayu dan Karawang.

Pada saat yang sama, Duta Besar China pula mengumumkan beasiswa bagi mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama.

Pada Juni silam, NU mendirikan kantor cabang di China dan hingga Juni 2019, telah ada sekitar 246 mahasiswa Indonesia yang menjalankan studi di sana.

Menelusuri kamp 'de-radikalisasi' Muslim Uighur di China

Sementara itu, pada pertengahan tahun ini, universitas dan rumah sakit yang dikelola Muhammadiyah menjalin kerjasama dengan sejawatnya di China.

"Ormas besar di Indonesia memiliki hubungan yang harmonis dengan Kedutaan Besar China. ada ratusan mahasiswa NU yang belajar di China, mereka bisa memberikan testimoni bahwa tidak ada Islamofobia di China.

"Tapi kan Islamofobia di China tidak ada, bukan berarti pelanggaran HAM di provinsi Xinjiang tidak ada," kata Deka.

Keluarga Uighur berdoa di kuburan anggota keluarga mereka pada hari Idul Adha, September 2016, di wilayah Xinjiang barat.

Lebih jauh, Deka menjelaskan ada dua alasan mengapa Indonesia bungkam terhadap isu Muslim Uighur.

"Bahwa investasi China begitu besar jadi kita bungkam. Kedua, masyarakat Muslim Indonesia masih terbagi, masih banyak yang belum percaya dengan pelanggaran HAM di Xinjiang," jelasnya.

Namun, hal ini ditampik oleh Wasekjen PBNU Masduki Baidlowi yang menyebut kerjasama terkait pendidikan, tidak hanya dijalin dengan pemerintah China saja, namun juga negara-negara lain.

"Jadi tidak ada yang spesifik kedekatan khusus, itu nggak."

"Karena kedekatan kita bangun hubungan yang baik untuk bagaimana kita melakukan dakwah Islam ke berbagai negara. Karena NU sebagai batang tubuh Islam moderat di Indonesia, kita ingin mengekspor ajaran Islam yang ramah ini ke berbagai negara yang lain," jelasnya.

Pemerintah Indonesia dituntut untuk lebih vokal menyangkut persoalan Muslim Uighur.

Masduki yang juga juru bicara Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengungkapkan, berbeda dengan negara-negara barat yang lantang menyuarakan pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur -kebijakan yang disebut megaphone diplomacy - Indonesia memilih pendekatan lunak menyoal isu tersebut.

Dia mencontohkan dalam pertemuan pejabat dari berbagai negara di Madrid, Spanyol beberapa waktu lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menanyakan persoalan Muslim Uighur kepada Pemerintah China yang turut hadir dalam even tersebut.

"Artinya, kami tidak diam. Tetapi yang lain berteriak seperti pemerintahan di Eropa atau Amerika, dan kami tidak berteriak. ketika kami tidak berteriak, jangan lalu dianggap bahwa kami itu bungkam," tegas Masduki.

Sejauh ini belum ada demonstrasi besar di Indonesia sehubungan dengan dugaan pelanggaran HAM yang dialami oleh Muslim Uighur di China, terutama baru-baru ini setelah muncul laporan dugaan pencucian otak di kamp-kamp tahanan.

Dalam kasus-kasus internasional lain, seperti masalah Palestina dan Rohingya, sejumlah ormas kerap menyuarakan dukungan mereka.

Pemerintah China dalam berbagai kesempatan selalu membantah telah terjadi pelanggaran terhadap warga Muslim Uighur.

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas