Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Wacana Gaji Bulanan Diganti Sistem Per Jam, Disambut Baik Pengusaha, Ditolak Mentah-mentah Buruh

Wacana perubahan gaji pegawai dari per bulan menjadi per jam oleh pemerintah mendapat respons bertolak belakang dari pengusaha dan pekerja.

Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Whiesa Daniswara
zoom-in Wacana Gaji Bulanan Diganti Sistem Per Jam, Disambut Baik Pengusaha, Ditolak Mentah-mentah Buruh
TribunJatim.com/ist
Ilustrasi gaji - Wacana perubahan gaji pegawai dari per bulan menjadi per jam oleh pemerintah mendapat respons bertolak belakang dari pengusaha dan pekerja. 

TRIBUNNEWS.COM - Wacana perubahan gaji pegawai dari per bulan menjadi per jam oleh pemerintah mendapat respons bertolak belakang dari pengusaha dan pekerja.

Diketahui, dengan skema gaji per bulan, pekerja bisa memiliki gaji tetap yang sama meski memiliki jumlah masuk kerja yang berbeda.

Sedangkan jika penggajian dihitung per jam, pekerja mendapat gaji sesuai jumlah jam kerjanya.

Sistem pengupahan akan diatur dalam RUU Omnibus Law.

Selain sistem penggajian, RUU Omnibus Law juga membahas tentang rekrutmen dan pemutusah hubungan kerja (PHK).

Ditolak Serikat Pekerja

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak wacana upah per jam.

BERITA REKOMENDASI

Hal itu diungkapkan Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar S Cahyono, dilansir Kompas.com.

KSPI menolak lantaran upah minimum pekerja saat ini saja masih dianggap rendah.

"Buruh menolak terkait pembayaran upah per jam. Hal ini, karena, upah minimum di Indonesia masih rendah," kata Kahar, Jumat (27/12/2019).

Menurutnya, sistem delapan jam kerja per hari atau 40 jam per minggu sudah tepat.

Termasuk juga ketika dalam satu bulan terdapat hari libur nasional maupun cuti, tidak akan memengaruhi upah buruh.


Kahar khawatir, dengan sistem upah per jam pendapatan buruh justru berada di bawah upah minimum.

"Kalau upah per jam, ketika ada hari libur nasional, maka buruh tidak akan mendapatkan upah. Karena buruh sedang libur, tidak bekerja. Jika upah dibayarkan per jam, kita khawatir pendapatan yang diterima buruh kurang dari upah minimum," jelasnya.

Selain alasan tersebut, Kahar mengungkapkan sistem ini justru bisa digunakan pengusaha untuk mempekerjakan karyawannya pada jam tertentu.

"Misalnya, pekerja housekeeping di hotel. Upahnya hanya dihitung beberapa jam ketika membereskan kamar, saat tamu check out, dan sebagainya," katanya.

Kahar juga mengungkapkan sistem kerja delapan jam per hari belum bisa memenuhi kebutuhan hidup.

Ia menyebut, dengan adanya upah per jam akan mendorong perusahaan mempekerjakan karyawan kurang dari delapan jam.

"Jadi upah per jam tidak memberikan kepastian terhadap pendapatan yang diterima buruh," ujarnya.

Disambut Baik Pengusaha

Sementara itu wacana perubahan gaji per bulan menjadi gaji per jam mendapat respons positif dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

Dilansir Kompas.com, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mendukung wacana tersebut.

"Saya rasa bagus sih karena lebih fleksibel. Sekarang trennya apalagi anak muda kalau kerja hitungannya per jam," kata Hariyadi, Kamis (27/12/2019).

Hariyadi menyebut sistem pengupahan per jam membuat gaji tetap bulanan tidak lagi menarik.

"Mereka enggak perlu dalam satu hari harus kaku 8 jam," ujarnya.

Ketua umum APINDO
Ketua umum APINDO (KOMPAS.com/ELSA CATRIANA)

Yang paling penting menurutnya adalah jumlah kerja yang disepakati.

"Yang paling pentingkan jumlah jam kerja yang disepakati itu berapa," jelasnya.

Hariyadi menilai sistem gaji per jam memberikan keuntungan bagi pihak perusahaan dan pihak pegawai.

Hariyadi pun mengungkapkan pihaknya siap jika perubahan tersebut diberlakukan.

Baca Juga : Wacana Pemerintah Ubah Gaji Bulanan Menjadi Per Jam, Kata Apindo hingga Menteri Tenaga Kerja

"Ya siap lah, kalau kita enggak ada masalah. Dan itu sudah biasa di negara lain juga melakukan hal yang sama. Itu juga bagus ke pekerjanya jadi dia bisa lebih fleksibel," katanya.

Sementara terkait dengan nominal penggajian, Hariyadi menyebut hal itu bergantung pada kebijakan perusahaan.

Karena masih rancangan, Hariyadi mengungkapkan terkait patokan nominal memiliki parameter yang banyak.

"Kalau untuk saran nominal itu nanti kesepakatannya. Ada patokan yang nanti akan ditetapkan dan proporsional dari situ. Apakah upah minimumnya atau upah di perusahaan itu, secara rata-rata. Jadi parameternya banyak," ungkapnya.

Ribuan buruh menggelar unjuk rasa di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (20/11/2019). Dalam aksinya, mereka menuntut kepada pemerintah kenaikan UMK tahun 2020 sebesar 18,05 persen, menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan, menolak upah padat karya, dan sejumlah tuntutan lainnya.
Ribuan buruh menggelar unjuk rasa di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (20/11/2019). Dalam aksinya, mereka menuntut kepada pemerintah kenaikan UMK tahun 2020 sebesar 18,05 persen, menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan, menolak upah padat karya, dan sejumlah tuntutan lainnya. (Tribun Jabar/Gani Kurniawan)

Sementara itu, target penyerahan Omnibus Law yang berisi aturan-aturan ketenagakerjaan ke DPR yang sebelumnya direncanakan pada akhir tahun ini, molor hingga paling lambat awal tahun depan.

Dilansir Kompas.com, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyebut alotnya pembahasan Omnibus Law yakni karena sulitnya mempertemukan kepentingan pengusaha dan buruh atau tenaga kerja.

"Memang tidak gampang, butuh waktu, pasti mempertemukan antara kepentingan pengusaha dan tenaga kerja itu bukan hal yang gampang," ujar Ida, Rabu (25/12/2018).

Kajian yang dilakukan di antaranya mengenai upah berdasarkan jam.

Diketahui, skema pengupahan per jam sebenarnya sudah lumrah dilakukan di negara-negara maju.

Kementerian Ketenagakerjaan disebut Ida tengah melakukan inventarisasi dan mendengarkan masukan dari buruh dan dunia usaha.

(Tribunnews.com/Wahyu Gilang Putranto) (Kompas.com/Ade Miranti Karunia/Kiki Safitri/Muhammad Idris)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas