Kubu Syafruddin Arsyad: Jaksa KPK Tak Punya Legal Standing Ajukan Peninjauan Kembali
Tim Penasihat Hukum Syafruddin Arsyad Temenggung meminta majelis hakim agar menolak permohonan Peninjauan Kembali
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Penasihat Hukum Syafruddin Arsyad Temenggung meminta majelis hakim agar menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hasbullah, penasihat hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, mengatakan Jaksa KPK tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan PK.
Menurut dia, Jaksa KPK tidak memenuhi syarat subjektif dan objektif pengajuan PK sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang mengatur pihak yang mempunyai hak mengajukan PK hanyalah terpidana atau ahli warisnya.
Baca: Alasan KPK Ajukan Peninjauan Kembali Terhadap Vonis Lepas Syafruddin Temenggung
Baca: KPK Segel Ruang Kerja Komisioner KPU Wahyu Setiawan Sejak Kamis Pagi
Selain itu, kata dia, putusan yang dapat diajukan PK hanya putusan pemidanaan sedangkan putusan menyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan tidak bisa diajukan PK.
"Kami mohon Yang Mulia Majelis Hakim agar permohonan PK yang diajukan Jaksa pada KPK selaku pemohon PK harus tidak diterima atau ditolak pada kesempatan pertama dan tak melanjutkan persidangan ini karena pemohon PK tidak memiliki kedudukan hukum," kata Hasbullah, ditemui setelah persidangan, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (9/1/2020).
Dia menjelaskan larangan Jaksa KPK tidak diperbolehkan mengajukan PK dalam perkara pidana sudah ditegaskan dalam Surat Edaran No. 4 Tahun 2014 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013.
Surat Edaran itu sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan berdasarkan Surat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 04/BUA.6/HS/SP/III/2014 tanggal 28 Maret 2014 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama di Seluruh Indonesia ("SEMA No. 04/2014").
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) Putusan Nomor: 33/PUU-XIV/2016, telah memberikan penafsiran konstitusional atas ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Dia menegaskan berdasarkan pertimbangan dalam SEMA 28 Maret 2014 dan putusan MK, dapat disimpulkan pengajuan PK oleh pemohon PK, Jaksa KPK, tak memenuhi syarat formil
"Dengan demikian, Pemohon PK tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) melakukan Upaya Peninjauan Kembali karena tidak memenuhi syarat formil dan materiil," kata Hasbullah.
Selain itu, dia menilai pemohon PK telah melanggar hukum dalam penerapan hukum pidana, baik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan tentang Tindak Pidana Korupsi.
Sebelumnya, Syafruddin divonis lepas oleh Mahkamah Agung (MA) di kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang saat ini menjerat Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim.
Atas dasar itu, Jaksa KPK mengajukan upaya peninjauan kembali atas vonis lepas mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Asryad Temenggung.
PK terhadap putusan kasasi MA nomor 1555K/Pid.Sus/2019 atas nama terdakwa Syafruddin Temenggung itu disidangkan, pada Kamis (9/1/2020). Sidang beragenda pembacaan memori PK oleh jaksa di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selaku pemohon, membacakan memori peninjauan kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor: 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 9 Juli 2019 atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung.
Sidang pembacaan memori PK digelar di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, pada Kamis (9/1/2020) siang.
Setidaknya terdapat dua poin yang menjadi landasan jaksa mengajukan memori PK. Pertama, anggota majelis hakim melanggar prinsip imparsialitas dalam memutus perkara. Kedua, terdapat kontradiksi antara pertimbangan dengan putusan.