Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Saan Mustofa Sebut Kasus Dugaan Suap Wahyu Setiawan Dapat Gerus Legitimasi KPU

Saan Mustofa menyebut kasus dugaan suap yang menjerat komisioner KPU, Wahyu Setiawan, dapat menggerus legitimasi KPU.

Penulis: Isnaya Helmi Rahma
Editor: Whiesa Daniswara
zoom-in Saan Mustofa Sebut Kasus Dugaan Suap Wahyu Setiawan Dapat Gerus Legitimasi KPU
Tribunnews/Jeprima
Komisioner KPU, Wahyu Setiawan mengenakan rompi tahanan warna oranye usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (10/1/2020) dini hari. Wahyu Setiawan ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap terkait dengan penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI terpilih 2019-2024 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan upaya membantu Harun Masiku sebagai PAW anggota DPR RI yang meninggal dunia, Nazarudin Kiemas, dengan uang operasional sebesar Rp 900 juta. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Saan Mustofa angkat bicara terkait kasus dugaan suap yang menjerat komisioner KPU, Wahyu Setiawan.

Menurutnya, kasus ini dapat menggerus legitimasi KPU sebagai lembaga negara penyelenggara pemilihan umum Indonesia. 

Pernyataan ini ia sampaikan dalam program Prime Talk yang dilansir di kanal YouTube metrotvnews, Sabtu (11/1/2020).

Sebelumnya, Saan mengatakan Komisi II DPR akan meminta penjelasan terhadap KPU terkait kasus pengganti antarwaktu (PAW) dan suap yang melibatkan satu diantara komisioner KPU.

Saan menyebut pertemuan itu akan berlangsung pada Senin (13/1/2020) besok.

"Tanggal 13 Januari 2020, kami baru masuk masa sidang kedua," ujar Saan.

"Mudah-mudahan di minggu pertama ini, kami sudah bisa meminta penjelasan pada KPU terkait dengan kasus yang menimpa satu diantara komisionernya," jelasnya.

s
 (YouTube metrotvnews)
Berita Rekomendasi

Kemudian Saan mengungangkap pertemuan ini sangat penting dikarenakan adanya dugaan suap ini dapat membuat legitimasi KPU menjadi berkurang.

Sehingga ini dapat membuat masyarakat menjadi tidak percaya terhadap penyelenggara pemilu tersebut.

"Buat kami ini penting, bukan cuma persoalan kasusnya saja PAW, tapi kejadian yang menimpa KPU ini tentu akan membuat legitimasi terhadap KPU menjadi berkurang," ujarnya.

"Ada proses delegimitasi soal kepercayaan masyarakat terhadap KPU," imbuhnya.

Terlebih, Saan menilai selama ini KPU selalu melantangkan terkait Pemilu yang berintegritas.

"Apalagi selama ini KPU selalu mengembor-gemborkan tentang Pemilu yang berintegritas, tidak boleh mengusung eks koruptor dan sebagainya," kata Saan.

Namun secara mengejutkan ternyata pelaku dugaan suap malah terjadi pada satu diantara komisioner KPU.

"Dengan kejadian ini, dan pelakunya ada di KPU," ujarnya.

Komisioner KPU, Wahyu Setiawan mengenakan rompi tahanan warna oranye usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (10/1/2020) dini hari. Wahyu Setiawan ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap terkait dengan penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI terpilih 2019-2024 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan upaya membantu Harun Masiku sebagai PAW anggota DPR RI yang meninggal dunia, Nazarudin Kiemas, dengan uang operasional sebesar Rp 900 juta. Tribunnews/Jeprima
Komisioner KPU, Wahyu Setiawan mengenakan rompi tahanan warna oranye usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (10/1/2020) dini hari. Wahyu Setiawan ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap terkait dengan penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI terpilih 2019-2024 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan upaya membantu Harun Masiku sebagai PAW anggota DPR RI yang meninggal dunia, Nazarudin Kiemas, dengan uang operasional sebesar Rp 900 juta. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/Jeprima)

"Justru ini menjadi problem tersendiri buat KPU serta proses demokrasi Indonesia," tegasnya.

Ditanya terkait adakah celah atau peluang bagi lembaganya untuk 'bermain' dalam proses PAW ini, Saan menyebut seharusnya tidak dapat dilakukan.

"Sebenarnya KPU sudah tidak ada ruang untuk bermain ya," kata Saan.

Mengingat mekanisme PAW sudah diatur dalam undang-undang.

"KPU tinggal menjalankan dan melaksanakan undang-undang dengan panduan teknisnya," ungkapnya.

"Jadi dalam undang-undang sudah jelas kalau misalnya caleg terpilih berhalangan tetap, meninggal dan sebagainya, penggantinya otomatis adalah nomor dua suara terbanyak berikutnya," jelas Saan.

"Tentu parpol juga tidak bisa bertentangan dengan undang-undang," imbuhnya.

Saan menyebut kalaupun parpol menginginkan nomor tersebut yang jadi untuk menggantikan PAW, maka parpol dapat melakukan tindakan politik.

Misalnya dengan memecat nomor diatasnya, baru KPU dapat memproses pergantian tersebut.

Perludem kecewa Komisioner KPU terkena OTT KPK

Peneliti Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) Fadli Ramadhanil turut menanggapi kabar Komisioner KPU, Wahyu Setiawan yang ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan pada Rabu (8/1/2020).

Dilansir dari kanal YouTube metrotvnews, Sabtu (11/1/2020), Fadli mengungkapkan bahwa Perludem merasa kecewa atas terjadinya hal ini.

"Kami tentu saja kecewa dan bersedih karena kejadian ini yakni adanya dugaan praktik suap yang terjadi antara komisioner KPU Pak WS (Wahyu Setiawan) dengan satu di antara kader politik, dugaannya seperti itu," ujarnya.

"Tentu saja ini membuktikan bahwa ada yang salah dengan praktik penyelenggaraan Pemilu kita," imbuhnya.

Ia bahkan menuturkan tertangkapnya Wahyu oleh KPK karena dugaan transaksi suap ini menjadi tamparan keras untuk demokrasi Indonesia dan KPU itu sendiri. 

Fadli menilai seharusnya sebagai penyelengara Pemilu, Wahyu dapat menjaga marwah KPU dengan baik.

"Di mana seorang penyelenggara Pemilu yang harusnya menjaga integritas, indepedensinya dan memastikan profesionalitasnya bekerja dengan baik," ujarnya.

"Ini malah justru kemudian terlibat kongkalingkong, praktik suap dengan peserta Pemilu," imbuhnya.

"Sesuatu yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu," tambahnya.

"Dan tentu ini menjadi tamparan yang sangat keras bagi lembaga institusi, Pemilu dan juga demokrasi di Indonesia," tegasnya

Feri Amsari sebut OTT Komisioner KPU akan berdampak pada marwah KPU

Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari
Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari (Youtube KompasTV)

Menurut Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari adanya dugaan praktek suap yang terjadi antara Komisioner KPU dengan satu diantara kader politik ini akan berdampak pada marwah KPU.

Komisioner KPU yang seharusnya dapat menjaga integritas, indepedensi dan profesionalitasnya malah terjerat praktek suap dengan peserta Pemilu.

Tak hanya marwah KPU, dugaan kasus suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan ini juga berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.

Mengingat KPU selama ini dianggap sebagai satu diantara lembaga yang paling penting dalam penyelenggaraan pemilu.

"Dampaknya tentu akan kepada marwah institusi KPU, dan kepada hasil proses demokrasi yang melalui proses Pemilu," ujar Feri yang dilansir dari kanal YouTube Kompas tv, Sabtu (11/1/2020). 

"Mau tidak mau publik akan berupaya mengaitkan relasi proses penangkapan ini dengan apa yang sudah dilakukan dengan KPU," imbuhnya.

Diketahui Komisioner KPU Wahyu Setiawan terjaring OTT KPK pada Rabu (8/1/2020).

Hal ini terkait dengan adanya dugaan praktik suap antara Wahyu Setiawan dengan satu diantara kader politik.

Seusai OTT terhadap Wahyu, KPK langsung melakukan penyidikan.

Sejalan dengan penyidikan, KPK telah menetapkan sejumlah tersangka yang terlibat dalam praktik suap ini.

Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.

"Sejalan dengan penyidikan tersebut, KPK menetapkan 4 orang tersangka," kata Lili yang dikutip dari Kompas.com.

Adapun empat nama tersebut yakni Wahyu Setiawan sebagai penerima suap serta anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fridelina.

Dimana ia adalah orang kepercayaan Wahyu Setiawan.

Lili juga menyebutkan dua nama terakhir yang berperan sebagai pemberi suap.

(Tribunnews.com/Isnaya Helmi Rahma, Kompas.com/Devina Halim)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas