Kisah Khoe Tjioe Liang, Dokter TNI di Balik Pengangkatan Jenazah 7 Pahlawan Revolusi
Ia merupakan satu dari sembilan anggota Kesatuan Intai Para Amphibi (Kipam) Marinir yang kini telah menjadi Batalyon Intai Amfibi (Taifib).
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM - Pada 1980, Presiden Soeharto menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Kartika Eka Paksi Nararya kepada Letkol Marinir TNI AL Winanto beserta kesembilan orang rekannya, termasuk dr Kho Tjioe Liang.
Kho Tjioe Liang merupakan seorang dokter keturunan Tionghoa berpangkat Letnan Satu (Lettu) Kesehatan di Korps Komando Operasi (KKO) yang kini telah berubah nama menjadi Korps Marinir.
Ia merupakan satu dari sembilan anggota Kesatuan Intai Para Amphibi (Kipam) Marinir yang kini telah menjadi Batalyon Intai Amfibi (Taifib).
Saat periode pasca-Gerakan 30 September 1966, dia bertugas mengevakuasi jenazah tujuh Pahlawan Revolusi yang berada di sumur Lubang Buaya.
Atas upaya yang dilakukan tim itulah, diketahui kondisi jenazah Pahlawan Revolusi tidak mengalami perusakan atau mutilasi secara mengerikan seperti digambarkan dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1984), yang menjadi tayangan wajib televisi pada masa Orde Baru.
Dikubur di sumur tua
Dilansir dari buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran Sejak Nusantara Sampai Indonesia (2014) karya Iwan Santosa, operasi pengangkatan jenazah ketujuh Pahlawan Revolusi itu dimulai dengan manuver yang dilakukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) atau yang kini disebut Kopassus di bawah kepemimpinan Mayor (Inf) CI Santoso di kawasan Lubang Buaya pada 3 Oktober 1965.
Kendala teknis pun dihadapi. Jenazah tersebut berada di dalam sebuah sumur tua berdiameter 0,75 meter dengan kedalaman 10 meter.
Lokasi sumur tersebut terpaut 3 meter dari rumah seorang guru aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI).
Posisi jenazah dalam kondisi terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas lantaran diduga dilemparkan secara sembarangan.
Selain itu, jenazah juga ditimbun dengan sampah kering, batang pohon pisang, daun singking, dan tanah secara berselang-seling.
Pada 4 Oktober 1966, sekitar pukul 02.30 WIB, Pangkostrad Mayjen Soeharto memerintahkan Kapten (Czi) Sukendar untuk meminta bantuan kepada Korps Marinir.
Semula, Sukendar menuju Markas Kipam di Ancol, tetapi rupanya keberadaan mereka telah dipindah ke Markas Besar Korps Marinir.
Sekitar pukul 03.00 WIB, Sukendar menemui perwira jaga Mabes Korps Marinir yang kemudian menghubungi Letnan (Mar) Mispan Sutarto. Ketika itu, Komandan Taifib Kapten (Mar) Winanto sedang berada di mes di Jalan HOS Cokroaminato 103 Menteng, Jakarta Pusat.