Pengakuan Para Perempuan Indonesia yang Jadi Pengantin Pesanan Pria di China
Kartel pengantin pesanan diduga kuat meraup keuntungan materi sebagai penghubung antara perempuan Indonesia dan pria China.
Editor: Hasanudin Aco
Suami saya kerja kotor, sepertinya berhubungan dengan besi. Ayah dan ibunya meladang. Kakak perempuannya kerja di pengadilan, mengurus berkas.
Hana - Kota Suzhou, Provinsi Jiangsu, asal Kalimantan Barat
Hubungan antara saya, suami, dan keluarga di China sebenarnya baik. Kami sempat bertengkar gara-gara saya sempat meminta dipulangkan.
Saya tidak tahu paspor saya ada di mana. (Hana menikah dan tinggal di Suzhou sejak Juli 2019)
Kondisi saya tidak fit, mungkin karena faktor cuaca. Saya tidak pernah mau diajak suami untuk bekerja. Akhirnya saya hanya disuruh mengurus rumah, kadang-kadang juga mencuci baju mertua.
Saya rindu dengan anak kandung dan keluarga saya di Indonesia. Di sini saya bagaikan burung. Saya bisa saja kabur, tapi saya bingung harus ke mana. Kantor KBRI jauh.
(Jarak antara pusat Kota Suzhou dan kantor KBRI di Distrik Chaoyang, Beijing, mencapai lebih dari 1.100 kilometer. Perjalanan bisa ditempuh selama sekitar 12 jam perjalanan darat)
Saya tidak mengalami kekerasan, mungkin karena pernikahan ini ilegal dan penyiksaan bisa dihukum berat.
Saya tidak tahu harus minta tolong ke siapa untuk pulang ke Indonesia. Saya minta tolong ke aktivis migran, tapi mereka selalu meminta saya untuk bersabar.
Nurlela, asal Kalimantan Barat
Nurlela menikah dan mulai tinggal di China awal 2016. Dari pernikahan pertamanya di Indonesia, ia memiliki seorang anak.
Setelah sembilan bulan di China, ia kabur dari rumah suaminya. Ia mengaku harus pulang karena anaknya yang saat itu masih balita sakit keras.
Selama di China Nurlela mengaku tidak pernah mendapat kekerasan.