ICJR: RUU Ketahanan Keluarga Kikis Peran Agama Dalam Kehidupan Masyarakat
RUU itu menguraikan banyak hal terkait dengan kewajiban peran-peran tertentu yang belum tentu selalu dalam setiap keluarga.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Anggara, menilai Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga menghilangkan peran agama, suatu nilai yang luhur dan spiritual dalam aspek kehidupan masyarakat.
"RUU Ketahanan Keluarga justru mengerdilkan peran agama dalam membimbing pembentukan fungsi keluarga yang dinamis," kata Anggara, kepada wartawan, Jumat (28/2/2020).
Dia menjelaskan, RUU itu menguraikan banyak hal terkait dengan kewajiban peran-peran tertentu yang belum tentu selalu dalam setiap keluarga.
Baca: RUU Ketahanan Keluarga: Hunian Layak Masih Jadi Persoalan Keluarga Muda
Di Pasal 15 ayat (1) RUU itu dijelaskan kewajiban keluarga salah satunya berperan serta dalam penyelenggaraan Ketahanan Keluarga di lingkungannya untuk mewujudkan Keluarga Indonesia yang tangguh dan berkualitas.
Sedangkan, di Pasal 16 ayat (1) dimuat kewajiban anggota keluarga yang terdiri dari kewajiban menaati perintah agama dan menjauhi larangan agama, menghormati hak anggota Keluarga lainnya; melaksanakan pendidikan karakter dan akhlak mulia; serta mengasihi, menghargai, melindungi, menghormati anggota keluarga.
Di Pasal 24 ayat (2) RUU ini menguraikan kewajiban suami istri untuk saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.
Sedangkan, di Pasal 25 mewajibkan suami istri untuk melaksanakan norma agama.
Menurut Anggara, kewajiban-kewajiban yang diuraikan itu tidak bisa dijangkau kewenangan negara.
Dia menegaskan negara tidak bisa melihat atau menguraikan konsekuensi atas pelanggaran kewajiban-kewajiban itu, karena kewajiban yang diuraikan adalah ruang spiritualitas seseorang, misalnya, kewajiban saling mencintai pada suami istri.
Baca: Puan: RUU Ketahanan Keluarga Terlalu Intervensi Ranah Privat Rumah Tangga
"Kewajiban tersebut adalah kewajiban luhur yang diatur dalam norma agama, konsekuensi pelanggaran atas kewajiban tersebut adalah kepercayaan seseorang pada agamanya dengan konsep dosa/pahala," tuturnya.
Dia menilai upaya pengaturan pada level UU, maka merendahkan kewajiban luhur tersebut, menyatakan pelanggaran atas kewajiban tersebut sebagai pelanggaran hukum, yang memberikan kewenangan negara untuk melakukan intervensi.
"Lantas negara mengambil kewenangan agama dalam mengatur. Bukan tidak mungkin kedepannya banyak hal terkait dengan ruang spriritualitas dan kepercayaan seseorang bisa diatur sewenang-sewang dengan kewenangan negara," kata dia.
Selain itu, dia menyoroti materi tentang hak dan kewajiban Anak, yang diatur di Pasal 101 ayat (2) RUU itu. Melalui pasal itu, dia menambahkan, akan ada stigma dari negara terhadap anak yang tidak memenuhi kewajibannya misalnya untuk mengukuti pendidikan dan pengajaran.
Baca: PPP Akan Tolak RUU Ketahanan Keluarga Kalau Diskriminasi Terhadap Perempuan
"Padahal fungsi negara adalah menyediakan akses terhadap pendidikan kepada seluruh Anak di Indonesia secara merata, bukan untuk menyatakan anak yang tidak mengikuti pendidikan dan pengajaran sebagai pelanggar hukum," tambahnya.
Untuk diketahui, RUU Ketahanan Keluarga masuk ke Prolegnas 2020-2024 dalam daftar nomor 155, yang ditulis sebagai RUU yang diajukan oleh DPR/DPD.
Dalam perkembangannya, mulai 7 Februari 2020 diketahui bahwa RUU ini telah memasuki proses harmonisasi di Badan Legislatif (Baleg) DPR. RUU Ketahanan Keluarga juga masuk ke dalam Daftar Prolegnas Prioritas 2020.
Draf aturan ini diajukan oleh lima politisi yaitu Sodik Mudjahid dari Fraksi Partai Gerindra, Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, serta Ali Taher dari Fraksi PAN.