Kenaikan BPJS Dikhawatirkan Picu Gerakan Turun Kelas dan Sebabkan Tunggakan Lebih Masif
Pakar Hukum Tata Negara UNS mengatakan, kenaikan BPJS dikhawatirkan memicu gerakan turun kelas dan sebabkan tunggakan lebih masif.
Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: bunga pradipta p
Menurut Isharyanto, kenaikan iuran BPJS memang sudah menjadi kewenangan presiden.
Namun, ia menilai kenaikan kali ini momentum hukumnya tidak tepat.
"Menaikkan iuran BPJS adalah kewenangan Presiden."
"Namun demikian, kenaikan kali ini momentum hukum tidak tepat," kata Isharyanto.
Baca: Jokowi Naikkan Lagi Iuran BPJS Kesehatan, Pengamat Ekonomi: Jadi Kontroversial Saat Pandemi
Hal ini lantaran, Isharyanto menambahkan, situasi di Indonesia sedang krisis akibat dampak pandemi Covid-19.
Selain itu, masyarakat pun banyak yang kehilangan pendapatan.
"Karena situasi sedang krisis karena pandemi Covid-19 dan ada kemungkinan banyak masyarakat yang kehilangan pendapatan atau mengalami penurunan ekonomi," terangnya.
Mengingat kenaikan iuran BPJS ini sempat dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada akhir Februari 2020 lalu, Isharyanto menilai pemerintah seakan-akan menunjukkan ketidakpatuhannya terhadap putusan MA.
"Sulit menebak jalan pikiran pemerintah dalam kasus ini karena seakan-akan menampakkan ketidakputuhan kepada putusan MA sebelumnya," kata Dosen Fakultas Hukum UNS tersebut pada Tribunnews.com, Kamis (14/5/2020) siang.
Berpotensi Dipersoalkan Kembali di MA
Sebelumnya, kenaikan BPJS Kesehatan ini telah dibatalkan MA berdasarkan Perpres 75 Tahun 2019 melalui putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020.
Lantas, apakah keputusan pemerintah ini masih tetap bisa berjalan meskipun sebelumnya telah dibatalkan MA?
Isharyanto menerangkan, terdapat istilah doktrin presumptio dalam hukum.
Dalam hal ini, keputusan pemerintah akan dianggap sah dan berlaku sepanjang belum dicabut atau dibatalkan oleh pengadilan.