Perpres Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Jaminan Kesehatan Berpotensi Diuji Materi ke Mahkamah Agung
Sehingga seharusnta tidak dapat ditafsirkan lain selain daripada yang telah ditentukan Mahkamah Agung dalam putusan itu.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid, mengatakan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, berpotensi diuji materi ke Mahkamah Agung (MA).
Menurut dia, Perpres itu berpotensi diuji materi ke MA, karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam konteks ini Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelengaraan Jaminan Sosial, serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
"Secara yuridis, jika dilihat dari keberlakuan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 ini sangat potensial untuk digugat kembali (diuji meteril,-red) ke Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan," kata dia, saat dihubungi, Rabu (13/5/2020).
Dia menilai Perpres itu pada dasarnya kenaikan iuran BPJS Kesehatan dengan nominal yang sedikit berbeda dari kenaikan iuran sebelumnya berdasarkan ketentuan dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan.
Baca: Ambisi Besar Ong Yew Sin/Teo Ee Yi Tembus Skuat Piala Thomas 2020
Baca: Gambarkan Penjumlahan yang Hasilnya Bilangan 5, Jawaban Soal TVRI SD Kelas 1-3 Belajar dari Rumah
Baca: Fakta Naiknya Iuran BPJS Kesehatan, Jokowi Buat Keputusan Saat Wabah Hingga Dinilai Kehilangan Nalar
Dia menjelaskan putusan MA yang telah membuat kaidah hukum terkait melarang pemerintah untuk menaikan iuran BPJS Kesehatan adalah telah bersifat final dan mengikat, sifat putusan itu adalah “ergo omnes” yang mengikat lembaga negara lain,termasuk lembaga kepresidenan.
Sehingga seharusnta tidak dapat ditafsirkan lain selain daripada yang telah ditentukan Mahkamah Agung dalam putusan itu.
"Suka atau tidak suka itu telah menjadi hukum, sehingga putusan MA itu wajib dijalankan sebagaimana mestinya, tidak boleh membuat tafsiran lain," tuturnya.
Hal ini sedikit bermasalah jika dilihat serta dikaji dari sudut ilmu hukum, sebab sepanjang menyangkut dengan tindakan penaikan iuran BPJS Kesehatan telah ditetapkan atau dibuatkan kaidah hukumnya berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI,dalam perkara Hak Uji Materil Nomor : 7P/HUM/2020
"Dengan konsekwensi setelah dibatalkan Perpres Nomor 75/2019 terkait aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, maka kembali ke tarif iuran sebelumnya seperti diatur dalam ketentuan pasal 34 Perpres No. 82 Tahun 2018," ujarnya.
Di ketentuan Perpres nomor 82 Tahun 2018 mensyaratkan iuran ditinjau paling lama dua tahun, tetapi berdasarkan pertimbangan hukum hakim mahkamah agung yang mengadili perkara a quo telah menegaskan untuk melihat kondisi riil daya beli masyarakat.
Sepanjang pengaturan atas kenaikan BPJS Kesehatan yang sebelumnya telah dibatalkanh MA, sehingga jangan sampai presiden sebagai “adresat (subjek norma) dikualifisir telah melakukan perbuatan “constitution disobediance”atau “law disobediance” sehingga sangat merugikan pemerintahan.
"Presiden mempunyai kewenangan konstitusional mengatur urusan pemerintahan. Sehingga menjadi kewajiban konstitusional presiden mempedomani kaidah-kaidah hukum yang berlaku, termasuk putusan MA," tambahnya.