Fraksi PKS DPRD DKI: New Normal Bisa Jadi Bom Waktu di Jakarta
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPRD DKI menyebut Jakarta belum siap melaksanakan kebijakan new normal.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Sanusi
Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPRD DKI menyebut Jakarta belum siap melaksanakan kebijakan new normal.
Ia meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menelaah berbagai pertimbangan, dan tidak buru-buru memutuskan.
Jika tergesa-gesa, ia khawatir new normal malah jadi bom waktu bagi Jakarta.
Alasan ketidaksiapan tersebut tak lain karena DKI Jakarta sampai sekarang belum melakukan tes Covid-19 secara massal, setidaknya untuk dua minggu terakhir.
Data terakhir, ada 133.854 orang yang menjalani rapid test per kemarin (27/4). Tapi data itu merupakan akumulasi sejak pertama kali rapid test dilaksanakan.
Sehingga ia menyebut data yang disajikan sama sekali tidak mencerminkan keadaan terkini.
"Jangan buru-buru, DKI belum lakukan tes Covid-19 secara masal dalam dua minggu terakhir. Ini bahaya, bisa jadi bom waktu," ungkap kata Sekretaris PKS Achmad Yani kepada wartawan, Kamis (28/5/2020).
Pada satu sisi, masyarakat ibu kota dianggap masih belum punya kesadaran cukup untuk taat aturan PSBB, meski sosialisasinya sudah dilakukan masif. Ditambah, kebijakan new normal juga belum jelas.
"Pertama, masyarakat belum disiplin dalam mematuhi aturan PSBB padahal sosialisasinya sudah sangat masif, apalagi ini (normal baru) yang masih belum jelas. Pemerintah harus hati-hati dalam membuat kebijakan," ucapnya.
Tanpa Persiapan Matang Hanya Akan Menimbulkan Kematian Massal
Indonesia bersiap memasuki era new normal atau penormalan baru di tengah pandemi Covid-19.
Pemerintah akan melibatkan aparat keamanan TNI-Polri secara masif agar pemberlakuan new normal dapat berjalan lancar.
Anggota Komisi I DPR RI fraksi PDI Perjuangan Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin menilai tidak ada jaminan masyarakat akan patuh terhadap aturan saat penerapan new normal.
Sebab faktanya, banyak warga yang melanggar aturan saat diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Baca: Jokowi Minta Jajarannya Siapkan Jaring Pengaman Sosial Bagi 2,7 Juta Petani dan 1 Juta Nelayan
Baca: Tengah Malam, Warga di Jagakarsa Dikagetkan Kemunculan Ular Sanca 3 Meter di Atas Pagar
Baca: iPhone 12 Dikabarkan Rilis November, Apple Tak Lagi Bergantung Pada Samsung
"Andaikan TNI dan Polri diterjunkan sebagai pengawas nantinya, apa ada jaminan rakyat bakal patuh? Sementara sosialisasi new normal masih minim. Ini malah bisa menimbulkan konflik antara rakyat dan aparat, apalagi bila landasan hukumnya belum jelas," kata TB Hasanuddin kepada Tribunnews, Kamis (28/5/2020).
Hasanuddin mengatakan hingga saat ini belum ada instrumen hukum yang digunakan untuk melibatkan TNI dan Polri dalam melakukan penindakan hukum.
Menurutnya, ada aturan lain yang bisa dioptimalkan seperti UU Keadaan Bahaya. Namun bila digunakan sama saja dengan memberlakukan darurat sipil.
"Belum ada aturan jelas atau payung hukum terkait kewenangan TNI Polri dalam memberikan sanksi pada masyarakat," ujarnya.
Ia menegaskan penerapan new normal tanpa ada persiapan matang tak ada bedanya dengan herd immunity.
Itu artinya menyerahkan rakyat pada seleksi alam, yang kuat bertahan kemudian imun yang lemah akan meninggal dengan sendirinya.
"Itu sama saja dengan membiarkan kematian massal. Membiarkan orang tertular sampai mendapatkan kekebalan secara pribadi. Jika virus terus menyebar, pada akhirnya banyak orang yang akan terinfeksi dan jika mereka bertahan hidup maka menjadi kekebalan sehingga wabah akan hilang dengan sendirinya. Lalu bagaimana mereka yang rentan tertular dan tak mampu bertahan hidup?," ujar dia.
Hasanuddin juga menyoroti semakin minimnya daya tampung rumah sakit rujukan Covid-19.
Ia menilai rumah sakit rujukan Covid-19 masih kewalahan menangani kasus baru.
Sementara itu jumlah yang terkena virus corona terus bertambah dan kurva menunjukkan belum ada tanda-tanda menurun.
"Bisa saja setelah diterapkan kenormalan baru ini akan muncul lonjakan kasus atau gelombang kedua Covid-19," kata dia.
Hasanuddin menilai hingga saat ini pemerintah tak terlalu transparan soal data pasien terkonfirmasi Covid-19.
Menurutnya, tak ada data valid soal berapa yang terinfeksi, berapa yang meninggal, Orang Tanpa Gejala (OTG), Orang Dalam Pengawasan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP) atau reaktif.
"Mestinya ada penjelasan secara gamblang dari pemerintah, bagaimana saat ini penyebaran Covid-19 di Indonesia, kemudian ada sosialisasi jelas bagaimana menjalankan kenormalan baru, bagaimana sanksinya bila melanggar," pungkasnya.
Sebelumnya, kebijakan new normal ini dicanangkan Presiden Joko Widodo untuk merespons kondisi ekonomi selama pandemi Covid-19.
Jokowi mengajak masyarakat untuk hidup berdamai dengan Covid-19.
Sebanyak 340 ribu personil TNI-Polri juga akan disebar di pusat-pusat keramaian dan bertugas mendisiplinkan masyarakat agar penyebaran Covid-19 dapat ditekan.