Parpol di DPR Ingin Presidential Threshold Diturunkan, Fadli Zon Usul 0 Persen
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan segera membahas revisi UU Pemilu yang nantinya akan digunakan dalam Pemilu 2024.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan segera membahas revisi UU Pemilu yang nantinya akan digunakan dalam Pemilu 2024.
Salah satu isu menarik dalam rencana revisi UU Pemilu ini adalah kembali dibahasnya presidential threshold (PT) atau syarat parpol bisa mengusung capres-cawapres.
Saat ini syarat bagi parpol untuk bisa mengusung capres-cawapres adalah harus memiliki minimal 20 persen suara di DPR. Beberapa partai meminta agar angka PT 20 persen itu dipertahankan. Namun banyak pula yang mengusulkan agar PT itu diturunkan ke angka 10 persen, bahkan kalau perlu dijadikan 0 persen.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, salah satunya yang mengusulkan agar PT dijadikan 0 persen.
Baca: Fadli Zon: Demokrasi Indonesia Dikendalikan Para Cukong
Menurutnya, PT 0 persen merupakan langkah yang terbaik. ”Seharusnya presidential threshold itu 0 persen, kalaupun harus diturunkan misalnya 10 persen lah maksimum," kata Fadli dalam diskusi virtual bertajuk 'Menyoal RUU Tentang Pemilu dan Prospek Demokrasi Indonesia', Selasa (9/6).
Menurut Fadli, presidential threshold 20 persen seperti saat ini terkesan membatasi hak dipilih seseorang.
Baca: Fadli Zon: Kalau Mau Dibilang, Indonesia sebagai Negara Demokrasi Abal-abal
Sebab, dengan ambang batas 20 persen hanya akan memunculkan maksimal tiga pasangan calon.
"Dengan 20 persen presidensial threshold ya cuma beberapa orang yang bisa di situ. Saya kira maksimum tiga pasangan bahkan akan selalu dibuat dua pasangan," ucap Fadli.
"Saya kira sulit kita untuk mendapatkan satu kandidat yang kita harapkan menjadi orang yang terbaik memimpin bangsa dan negara kita ini," imbuhnya.
Ketua DPP Garindra, Habiburokhman mengatakan, secara umum partainya tidak mempersoalkan angka ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang saat ini dipatok minimal 20 persen. "Mau tinggi, mau rendah, mau tidak ada, kami siap," ujar Habiburokhman.
Menurutnya, Gerindra tidak mempersoalkan besaran ambang batas pencalonan presiden karena selama ini partainya selalu mendapatkan suara secara persentase dua digit.
"Jadi mau tinggi atau rendah, kami ladenin," ucap anggota Komisi III DPR itu.
Usul menurunkan angka PT sebelumnya dikemukakan oleh anggota DPR RI dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus. Ia mengkritik penerapan sistem presidential threshold yang terkesan sebagai upaya membatasi pertarungan di Pilpres.
Baca: Gerindra Siap Berapapun Ambang Batas Pencalonan Presiden
Kata Guspardi, jika aturan mengenai presidential threshold tidak diubah, maka pada Pilpres 2024 dimungkinkan
jumlah pasangan calon yang akan diusung juga hanya dua pasang.
Hal tersebut didasari oleh hasil rekapitulasi Pileg 2019, di mana dari sembilan partai yang berhasil melampaui parliamentary threshold tidak satu pun yang mencapai perolehan 20 persen.
Sehingga sangat dimungkinkan setiap partai politik untuk membentuk sebuah koalisi guna mencapai presidential threshold 20 persen dan koalisi tersebut dimungkinkan hanya melahirkan dua pasang calon.
"Penetapan presidential threshold ini tidak sesuai dengan semangat reformasi dan mencerminkan kemunduran demokrasi di Indonesia. Sebaiknya dihapuskan saja. Paling tidak partai yang lolos ke Senayan seharusnya
diberikan hak mengajukan calon presiden dan wakil presiden," kata Guspardi kepada Tribunnews, Selasa (9/6/2020).
Menurut Guspardi, semakin banyak calon di Pilpres akan semakin memperbanyak pilihan bagi rakyat yang akan menentukan siapa Kepala Negara pilihannya ke depan.
Rakyat memiliki hak untuk memilih calon terbaik, tidak perlu direkayasa dulu melalui ambang batas. "Kalau parpol yang baru pertama kali itu tidak punya hak (mengusung calon Presiden) saya kira itu cara pandang dalam demokrasi yang tidak pas," ujar legislator asal Sumatera Barat tersebut.
Guspardi lantas mengingatkan sejarah kontestasi Pilpres 2019. Menurutnya, itu bisa menjadi pelajaran berharga, bahwa penetapan presidential threshold telah mengakibatkan rakyat terpolarisasi menjadi dua kubu yang saling behadapan.
Pada masa kampanye Pilpres 2019 itu, sangat terasa panas dinginnya suasana politik saat itu.
Setiap kelompok masyarakat yang memiliki preferensi maupun berafiliasi dengan paslon menganggap bahwa paslon yang mereka dukung adalah paslon yang paling baik dan seharusnya dijadikan acuan publik. Kedua kubu paslon saling head to head membela paslon masing-masing .
"Akibatnya terjadi berbagai persekusi, timbulnya fitnah, merajalelanya hoaks, dan lain- lain. Lalu dilanjutkan dengan narasi-narasi yang menjatuhkan pasangan lawan. Sikap semacam ini dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal yang berujung pada tindak kekerasan ditengah-tengah masyarakat," ucapnya.
Usul PAN ini disambut oleh partai-partai lain. Menurut Deputi Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Andi Nurpati, mestinya semua partai politik yang telah lolos ke parlemen memiliki hak untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.
Baca: Jenazah Pasien PDP Covid-19 di Bekasi Dibawa Paksa, Dorong Tempat Tidur ke Parkiran
"Kalau partai sudah lolos ke DPR, harusnya diberi kewenangan yang sama untuk mengusulkan calon, toh kan pasti koalisi," ujar Andi, Selasa (9/6).
Senada dengan Guspadi, Andi menilai presidential threshold 20 persen berpotensi memecah atau polaritas di masyarakat saat kontestasi pemilihan presiden (Pilpres).
"Kita lihat dengan dua pasangan calon, dampaknya kuat, bisa membelah rakyat. Jadi saya memandang 4 persen (ambang batas parlemen) itu digunakan, artinya semua partai lolos ambang batas parlemen punya hak mengusulkan pasangan calon," tutur Andi.
Selain PAN, Gerindra, dan Demokrat, PPP juga setuju angka PT diturunkan. Waketum PPP, Arwani Thomafi mengatakan, angka presidential threshold 20 persen terlalu tinggi untuk membentuk sebuah koalisi di Pilpres.
"Presidential threshold itu selama ini memang terlalu tinggi. Kita punya pengalaman dengan presidential threshold, seperti itu membuat partai-partai tidak banyak pilihan. Sulit untuk mencoba merajut koalisi," kata Arwani.
PPP memandang pada pemilu 2024 nanti peluang agar lebih banyak capres bisa berkompetisi perlu diperbesar. Sehingga presidential threshold perlu diturunkan.
"PPP memandang perlu untuk bagaimana agar kita lebih membuka peluang calon-calon presiden untuk bisa berkompetisi secara lebih atau tidak sulit untuk berkompetisi. Tidak sulit muncul dalam kompetisi," ucap dia.
Namun tak semua partai pula yang setuju PT diturunkan. Anggota Komisi II Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, menilai ketentuan yang ada saat ini sudah ideal.
"Saya sih kesannya ke sana, sehingga tetap mempertahankan ke sana. Di 20 hingga 25 persen," kata Zulfikar.
Dia lantas menjelaskan jika ambang batas diturunkan akan memicu banyaknya kandidat capres. Sehingga, besar kemungkinan terjadinya pilpres dua putaran yang tidak mendukung keserentakan pemilu.
"Kalau nanti tidak ada PT pasti akan terjadi dua putaran. Karena kan harus mencapai 50 persen plus 1. Tanpa PT, 9 partai ini diasumsikan punya paslon sendiri-sendiri," jelasnya.
"Nah, kalau punya paslon sendiri- sendiri kan nanti 2 putaran. Kalau dua putaran bisa tidak tercapai maksud keserentakan pemilu itu. Pemilu serentak kan pileg pilpres kan sekali selesai. Tapi kalau nanti 2
putaran enggak akan bisa tercapai," lanjutnya.
Ia juga mengatakan, jika terjadi 2 putaran maka besar kemungkinan terjadi persoalan seperti di tahun 2014 silam. Saat itu partai pemenang pemilu tak mendapatkan posisi Ketua DPR.
"Bisa terjadi silang lagi. Bisa kayak 2004. Bisa kayak kasus Jokowi pertama di 2014. Pemenang pilpres berbeda dengan pemenang pileg. KIH dan KMP. Nah, itu kan sampai Mbak Puan aja nggak jadi ketua DPR. Ketua DPR dari Golkar," ujarnya. (tribun network/mam/sen/dod)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.