SBY Diundang Bahas Wacana Amandemen UUD 1945
sebagai keynote speaker atau pembicara kunci adalah Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Ketua DPR RI Puan Maharani
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartaawan Tribunnews.com, Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang sudah berlangsung empat kali ternyata masih "bolong-bolong", sehingga perlu diamandemen lagi untuk menyempurnakannya, supaya integritas dan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bertambah kokoh.
Salah satu pembicara yang akan diundang dalam diskusi nasional yang membahas amandemen UUD 1945 itu adalah mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Insya Allah kita akan minta kesediaan Pak SBY untuk hadir dan menjadi pembicara," ungkap Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH dari komunitas BACA (Barisan Cinta Tanah Air) di Jakarta, Kamis (11/6/2020) malam.
Baca: 8 Jenderal Disebut-sebut Calon Kapolri Pengganti Idham Azis, Ada Geng Solo dan Eks Ajudan SBY
Selain SBY, sejumlah tokoh lain juga akan diundang sebagai pembicara, seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, yang juga eksponen Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan mantan menteri di era Orde Baru, Siswono Yudhohusodo yang juga eksponen Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Baca: Independensi Penegak Hukum dan Amandemen UUD 1945
Adapun sebagai keynote speaker atau pembicara kunci adalah Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Ketua DPR RI Puan Maharani, dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD.
"Beliau-beliau sangat kompeten bicara soal amandemen konstitusi. Kita sedang menunggu konfirmasi kehadiran beliau-beliau," jelas Murphi yang juga Ketua Umum Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI).
Diskusi nasional akan digelar pada pertengahan Agustus mendatang, dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-75 Proklamasi Kemerdekaan RI.
Sebab itu, temanya adalah "Amandemen UUD 1945 dan Kekokohan NKRI: Menyongsong Seabad Kemerdekaan RI".
Baca: Punya Suaminya Dokter Bikin Isyana Sarasvati Cemas
Setelah mengalami empat kali amandemen UUD 1945, kata Murphi, integrasi dan integritas NKRI bukannya bertambah kokoh, melainkan justru bertambah rapuh dan goyah.
"Penyebabnya antara lain konflik dan sengketa kewenangan antar-lembaga negara, setelah lahirnya lembaga-lembaga baru," paparnya.
Misalnya, jelas Murphi, antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, antara MK dan Mahkamah Agung (MA), dan antara MA dan Komisi Yudisial (KY).
"Bahkan antara eksekutif dan legislatif. Hal ini terjadi karena amandemen dilaksanakan saat terjadi euforia reformasi, sehingga UUD yang semula executive heavy (lebih berat ke eksekutif) diubah menjadi legislative heavy (lebih berat ke eksekutif). Ini karena para anggota MPR waktu itu menilai kekuasaan Presiden terlalu kuat atau powerfull," urainya.
Nah, tegas Murphi, dengan amandemen ke-5 nanti UUD 1945 akan dibuat seimbang, tidak ececutive heavy atau legislative heavy. Dengan begitu, NKRI akan bertambah kokoh," cetusnya.
Baca: Geluti Bisnis Clocthing, Adit Adiyatma Raih Omzet Dua Kali Lipat di Masa Pandemi
Reformasi, menurut Murphi, adalah "pergantian bulu" sebagai "wind of change" (angin perubahan) yang semestinya membuat kehidupan berbangsa dan bernegara lebih baik.
"Juga mengembalikan marwah hukum sebagai panglima tertinggi, menghormati hak setiap orang (human dignity),dengan prinsip equality before the law atau kesetaraan di muka hukum, seperti diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Ini akan kita mantapkan agar hukum tidak menjadi alat kekuasaan, atau alat kepentingan kelompok tertentu untuk menindas rakyat," tukasnya.
Adapun BACA adalah forum studi dan mimbar ilmiah yang berorientasi pada politik hukum dan politik kebangsaan, dengan membahas masalah-masalah kebangsaan seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.
"Sebagai wujud kecintaan terhadap NKRI, kami tidak ingin larut dalam pendapat dan pemikiran liar. Dalam mengkritisi bangsa dan negara ini, kita berpijak pada fakta dan hukum," terangnya.
NKRI sebagai negara hukum yang dicanangkan oleh founding fathers kita di dalam UUD 1945, tambah Murphi, bermakna bahwa Indonesia bukan negara otokrasi, bukan negara diktaktor mayoritas dan tirani minoritas juga bukan pula negara yang berpaham menurut golongan tertentu, seperti sosialisme atau liberalisme, melainkan nergara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.