Masyarakat Kini Lebih Cemas Dampak Ekonomi akibat Covid-19 Ketimbang Kesehatan
Masyarakat kini lebih cemas pandemi Corona berdampak pada ekonomi ketimbang berdampak pada kesehatan.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat ternyata lebih cemas pandemi Corona berdampak pada ekonomi ketimbang berdampak pada kesehatan.
Hal ini terangkum dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Riset LSI Denny JA menggelar survei kualitatif mengenai kecemasan publik terhadap pandemi Covid 19.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, masyarakat kini lebih cemas pandemi Corona berdampak pada ekonomi ketimbang berdampak pada kesehatan.
"Kondisinya masyarakat sekarang lebih mencemaskan ke konteks ekonomi, ketimbang takut virus," kata peneliti LSI, Rully Akbar, Jumat (12/6/2020).
Riset tersebut menggunakan metode kualitatif dengan kajian data data sekunder yakni Gallup Poll, Voxpopuli center, dan riset eksperimental oleh Denny JA dan Eriyanto.
Menurut Rully pada awal Maret atau setelah WHO mengumumkan pandemi, masyarakat lebih cemas bila virus Corona akan menyerang kesehatan.
Saat itu 118 ribu warga di 118 negara dinyatakan terjangkit virus dengan angka kematian mencapai 4 ribu orang.
"Apalagi disebutkan bahwa penyebaran virus Corona lebih cepat menular ketimbang dua pandemi sebelumnya yakni SARS dan Mers. Itu menyebabkan masyarakat lebih khawatir dengan kesehatannya," kata Rully.
Ketika WHO sudah menyatakan Pandemi, negara -negara di dunia kemudian mengeluarkan kebijakan mulai dari yang berat yakni karantina atau lockdown, hingga pembatasan sebagian aktivitas.
Baca: Biaya SPP SMA/SMK di Jawa Barat Gratis untuk Tahun Ajaran 2020, Begini Penjelasan Ridwan Kamil
Misalnya Italia yang menerapkan Lockdown, sementara Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
"Lockdown menjadi kebijakan populis, karena didukung data berkontribusi positif dalam penurunan penyebaran, selain anjuran pakar kesehatan, juga kebijakan itu menjawab pertanyaan mengenai virus itu," katanya.
Namun, pembatasan-pembatasan membuat pertumbuhan ekonomi merosot karena perputaran roda ekonomi menurun.
Tidak semua industri bisa melakukan pekerjaan dari rumah.
Oleh karena itu kebijakan pembatasan tersebut mengakibatkan banyak orang di-PHK.
"Ketika pertama masyarakat aware dengan corona, di bulan Juni ada turning point, kecemasan terhadap virus mulai turun, tapi kecemasan terhadap kondisi ekonomi meningkat," katanya.
Berdasarkan penelitian eksperimental Denny JA dan Eriyanto tehadap 240 mahasiswa UI yang ditempatkan pada 8 kelompok responden secara acak kesimpulannya mereka lebih takut pada dampak ekonomi.
"Ketika diberikan treatmen mengenai dampak ekonomi mereka lebih takut ketimbang saat diberikan treatmen penyebaran virus terhadap kesehatan," katanya.
Baca: Cuma Minum Air Kelapa 6 Hari Berturut-turut, Perubahan Ini Akan Terjadi Dalam Tubuh!
Penelitian eksperimental tersebut diperkuat oleh hasil riset Voxpopuli Center.
Berdasarkan hasil riset 16 Mei sampai 1 Juni melalui sambungan telepon terhadap 1.200 responden, masyarakat lebih khawatir terhadap dampak ekonomi ketimbang kesehatan.
"Riset tersebut menemukan 67,4 persen lebih takut dampak ekonomi dibanding pandemi virus terhadap kesehatan yang hanya 25,3 persen," katanya.
Sementara itu kajian data lembaga riset internasional Gallup Poll yang melakukan survei di Amerika menemukan fakta bahwa terjadi perubahan kekhawatiran masyarakat dari yang awalnya takut pandemi virus menyerang kesehatan, menjadi khawatir pandemi berdampak pada ekonomi.
"Pada bulan April dan di minggu pertama Mei. Masyarakat di Amerika lebih banyak khawatir virus menyerang kesehatan mencapai 57 persen. Sementara yang khawatir virus berdampak pada ekonomi hanya 49 persen. Di pertengahan Mei atau 11-17 Mei, terjadi perubahan yakni yang khawatir terdapat dampak ekonomi 53 persen, sementara cemas terpapar virus 51 persen," tuturnya.
Dari kajian terhadap tiga data sekunder itu menurut Rully, LSI Denny JA menyimpulkan bahwa masyarakat kini lebih khawatir pandemi Corona berdampak pada ekonominya, ketimbang pada kesehatannya.
"Kecemasan publik atas kesulitan ekonomi kini melampaui kecemasan publik atas terpapar Corona," ia menjelaskan.
Baca: Prediksi Bayern Munchen vs Monchengladbach Bundesliga, Hansi Flick Waspadai Performa Lawan
Wakil Mendes PDTT Budi Arie Setiadi, saat Webminar Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) FEB UI, melalui virtual kemarin mengungkapkan inovasi dan gotong royong adalah kunci bagi pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi virus corona atau Covid 19.
"Dunia terancam kontraksi ekonomi hingga minus 7,2 pesen. Desa harus menjadi kekuatan utama bagi ketahanan ekonomi nasional," kata Wamendes Budi.
Budi Arie juga mengatakan, banyak tantangan di desa karena ada 13.577 desa yg belum memiliki akses internet.
Selain itu, ia juga menyebut ada 433 desa yang hingga saat ini belum dialiri listrik. Menurutnya, kesenjangan ini harus kita atasi bersama-sama.
"Kita harus memajukan desa. Sebab memajukan desa berarti memajukan Indonesia," ujarnya.
Wamendes Budi juga menyoroti bagaimana dari 74.953 desa yang ada masih ada, 3.540 desa yang sangat tertinggal dan 17.633 desa yang tertinggal.
"Pekerjaan rumah kita masih sangat berat untuk beberapa tahun ke depan," jelas Budi.
Dalam kesempatan tersebut, Budi Arie juga mengatakan bahwa BUMDes adalah instrumen sosial ekonomi bagi warga desa untuk maju.
Saat ini baru ada 18.195 BUMDes yang sudah di-profiling.
Dan saat ini sudah ada 4.651 BUMDes yang sudah masuk klasifikasi maju.
"Kami berharap dengan kerja sama semua pihak baik swasta, BUMN maupun civitas akademika untuk saling berkolaborasi dalam memajukan potensi BUMDes di Indonesia," kata Budi. (tribun network/yud/fik)