Ambang Batas Parlemen Dinaikkan, Diperkirakan 29 Juta Suara Akan Sia-sia
Jika parliamentary threshold naik menjadi 7 persen, Herzaky memperhitungkan ada 29 juta suara pemilih sah yang bakal terbuang.
Penulis: Imanuel Nicolas Manafe
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Balitbang DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra menyatakan, kenaikan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold akan membuat banyak suara rakyat menjadi sia-sia.
Jika parliamentary threshold naik menjadi 7 persen, Herzaky memperhitungkan ada 29 juta suara pemilih sah yang bakal terbuang.
"Ada wasted vote sebesar 29 juta atau setara seperlima dari suara sah. Besarnya adalah 21,07 persen," katanya dalam diskusi Proklamasi Democracy Forum: RUU Pemilu, Antara Penyederhanaan dan Mempertahankan Keberagaman, yang digelar oleh Badan Penelitian dan Pengembangan DPP Partai Demokrat, Minggu (14/6/2020).
Perhitungan ini merujuk kepada perolehan suara partai-partai politik pada Pemilu 2019.
Dengan parliamentary threshold 4 persen, ada tujuh parpol yang tidak lolos ke parlemen.
Jika digabung, perolehan suara ketujuh parpol itu mencapai 13,5 juta suara.
Baca: Partai Gelora Usul Agar Revisi UU Pemilu Fokus pada Pelaksanaan Pilpres dan Pileg
Baca: PKS Evaluasi Pemilu Sistem Proporsional Terbuka
Baca: Perludem: Ambang Batas Parlemen 7 Persen Membuat Pemilu Serentak Tak Selaras
Jika ambang batas parlemen menjadi 7 persen, dengan asumsi perolehan suara di Pemilu 2019, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan juga tidak lolos ke parlemen. Perolehan suara Partai Amanat Nasional di Pemilu 2019 adalah 6,84 persen (9,5 juta suara), sedangkan Partai Persatuan Pembangunan adalah 4,52 persen (6,3 juta suara).
"Padahal, keduanya adalah partai dengan segmen masyarakat Islam. PAN merupakan masyarakat Islam perkotaan dan PPP masyarakat Islam pedesaan," ucap Herzaky.
Dengan demikian, Herzaky menilai kenaikan ambang batas parlemen akan memberangus keberagaman dan keterwakilan masyarakat di parlemen.
Selain itu, dampak negatif lainnya ialah menguatkan pragmatisme dan politik uang karena partai-partai akan berlomba bagaimana bisa lolos.
Dalam diskusi yang sama, profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai ambang batas parlemen atau parliamentary threshold, membatasi hak dan kedaulatan rakyat.
"Ambang batas parlemen 7 persen, membatasi hak dan kedaulatan rakyat untuk berkumpul menjalankan idealisme," ujar Firman dalam diskusi virtual, Jakarta, Minggu (14/6/2020).
Menurutnya, ambang batas yang tinggi juga membuat suara rakyat menjadi terbuang dan tokoh berpotensi bisa tidak lolos, karena berada di partai kecil yang tidak lolos persyaratan tersebut.
"Jadi alternatif ide menjadi tersungkur (karena partainya tidak lolos)," ucap Firman.
Ia menilai, pembatasan yang tinggi tidak memiliki alasan yang jelas dan terlihat adanya kekuasaan yang ingin serba cepat, tanpa diganggu partai kecil.
"Partai kecil ini dinilai punya potensi mengganggu," papar Firman.
Ambang batas parlemen masuk ke dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu yang akan dibahas Komisi II DPR. Di mana, sebagian fraksi di DPR menginginkan kenaikan mencapai 7 persen dari saat ini 4 persen.
Namun, ada juga fraksi yang menginginkan tetap dipertahankan di angka 4 persen dan ada yang mengusulkan kenaikan dilakukan bertahan 1 persen dari saat ini.