Penjelasan Said Didu Cs Membentuk 'New KPK' Usai Temui Novel Baswedan di Rumahnya
Said menyatakan dukungannya tepat di depan pohon tempat Novel mendapatkan serangan berupa penyiraman air keras.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah tokoh membentuk kelompok New Kawanan Pencari Keadilan (KPK) sebagai bentuk dukungan moril terhadap kasus penyiraman air keras yang menimpa penyidik senior KPK Novel Baswedan.
Tokoh tersebut diantaranya mantan Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, ahli hukum tata negara Refly Harun, mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, aktivis Prodem Iwan Sumule, Rocky Gerung dan Adi Massardi.
Kelompok ini dibentuk setelah para tokoh tersebut menyambangi rumah Novel di Jalan Deposito, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Minggu (14/6/2020) sore ini.
Baca: Novel Baswedan: Banyak Rakyat Bisa Merasakan Keadilan Diinjak-injak
"Semua sehati, bahwa keadilan harus kita cari sehingga sepakat tadi, membentuk New KPK," ujar Said.
Lalu apakah KPK yang dimaksud?
Menurut Said, KPK yang dimaksud adalah Kawanan Pencari Keadilan.
"Itu substansinya ya," ujar Said.
Said menyatakan dukungannya tepat di depan pohon tempat Novel mendapatkan serangan berupa penyiraman air keras.
Sementara itu, aktivis Prodem Iwan Sumule mengatakan tuntutan jaksa terhadap terdakwa pelaku penyiraman air keras kepada Novel penuh dengan kejanggalan.
Baca: Said Didu Hingga Rocky Gerung Datang ke Rumah Novel Baswedan
Menurutnya, tuntutan jaksa tersebut tidak sesuai dengan akal sehat. Meski dirinya tidak yakin para terdakwa adalah pelaku sebenarnya penyiraman terhadap Novel.
"Tuntutan jaksa terhadap para pelaku belum juga diyakini apakah para pelaku yang kemudian penyiraman terhadap Novel. Itu betul-betul menggangu akal sehat kita, menggangu rasa keadilan kita," tutur Iwan.
Seperti diketahui, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulete, dua terdakwa penganiayaan penyidik KPK, Novel Baswedan dituntut pidana penjara selama 1 tahun.
Baca: Novel Baswedan Merasa Pekerjaannya Berantas Mafia Hukum Hanya Dipandang Sebelah Mata
Mereka masing-masing melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat seperti yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sesuai dakwaan subsider Jaksa Penuntut Umum.
Bisakah hakim menjatuhkan hukuman setimpal?
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Muhammad Tanziel Aziezi, menilai majelis hakim yang menyidangkan perkara penyiraman air keras yang dialami penyidik KPK Novel Baswedan dapat menjatuhkan hukuman setimpal kepada terdakwa.
Menurut dia, majelis hakim dapat memutus perkara berdasarkan fakta-fakta yang tersaji selama persidangan dan mengacu pada surat dakwaan yang dibuat Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Baca: Jenderal Andika Beri Perhatian Khusus Penanganan Medis 4 Prajurit Korban Kecelakaan Helikopter MI-17
“KUHAP mengatur dasar hakim menjatuhkan putusan, yaitu surat dakwaan dan fakta di persidangan. Dasar penjatuhan hukuman bukan surat tuntutan. (Hakim,-red) Dapat memutus berbeda dari surat tuntutan,” kata dia, di sesi diskusi “Objektivitas Tuntutan Jaksa Dalam Kasus Penyerangan Novel Baswedan”, Sabtu (13/6/2020).
Pada saat penuntutan, Jaksa menyebut Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat seperti yang diatur dan diancam pidana Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sesuai dakwaan subsider.
Mereka diancam pidana penjara selama satu tahun.
Pada pertimbangan tuntutan, Jaksa mengatakan terdakwa tidak pernah memikirkan melakukan tindak penganiayaan berat, tetapi ingin memberi pelajaran namun berakibat di luar dugaan.
Upaya memberi pelajaran itu dilakukan, karena Novel dinilai telah mengkhianati institusi Polri.
Dia menilai, pada saat membuat putusan hakim tidak terikat pada tuntutan Jaksa. Melainkan, kata dia, hakim merujuk pada surat dakwaan dan fakta-fakta di persidangan.
Sehingga, dia mengharapkan, agar majelis hakim dapat memberikan hukuman maksimal.
Dia mengungkapkan hakim harus mempertimbangkan pekerjaan terdakwa sebagai aparat kepolisian atau aparat penegak hukum yang harus melindungi warga negara.
Sementara, korban adalah seorang penegak hukum yang pekerjannya terganggu akibat penyiraman air keras yang dilakukan terdakwa.
“Posisi terdakwa aparat penegak hukum. Bisa jadi hal memberatkan. Yang harus menjadi perhatian, korban adalah aparat penegak hukum yang mana (penyiraman air keras,-red) mengakibatkan aktivitas beliau melakukan penegakan hukum menjadi terganggu,” kata dia.
Selain itu, pada saat membuat putusan, dia menambahkan, majelis hakim juga harus memperhatikan konsistensi putusan dan disparitas pemidanaan terkait putusan dalam perkara lain dengan karakteristik yang sama.
Heriyanto, pelaku penyiraman air keras ke tubuh istrinya, Yeta Maryati, divonis pidana penjara selama 20 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Bengkulu, pada 2020.
Rika Sonata, menyewa preman untuk menyiram air keras kepada suaminya, Ronaldo, pada Oktober 2018. Dia divonis pidana penjara 12 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Bengkulu.
Baca: Komjak Telusuri Rekam Jejak Jaksa yang Tuntut 2 Penyerang Novel Baswedan dengan Vonis Ringan
Sedangkan, seorang preman yang disewa Rika mendapatkan vonis 8 tahun penjara.
Ruslam, pelaku penyiraman istrinya Eka Puji Rahayu dan mertuanya, Khoyimah, divonis pidana penjara 10 tahun oleh Pengadilan Negeri Pekalongan, pada 2019.