LPSK Dorong Kasus Pemalsuan Sertifikat ABK Dikembangkan ke Tindak Pidana Perdagangan Orang
LPSK berharap, penyidik memproses hukum ke-11 tersangka pemalsuan sertifikat keterampilan pelaut mengaitkannya dengan tindak pidana perdagangan orang
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polda Metro Jaya bersama tim Satgas Kementerian Perhubungan berhasil menangkap 11 orang yang diduga memalsukan 5.041 sertifikat keterampilan pelaut.
Dalam aksinya para tersangka melakukan akses ilegal terhadap website resmi Kementerian Perhubungan.
Pengungkapan kasus ini diawali dari beberapa kasus yang menimpa anak buah kapal (ABK) Indonesia, termasuk dua ABK Indonesia yang loncat dari Kapal Lu Qing Yuan Yu berbendera RRT di Perairan Batam karena mendapat perlakuan buruk, kekerasan fisik, dan gajinya tidak dibayar.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berharap, penyidik memproses hukum ke-11 tersangka tidak sebatas pada pemalsuan, atau Undang-Undang ITE karena melakukan akses ilegal saja, tetapi juga mengaitkannya dengan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Sebab, pemalsuan dokumen merupakan salah satu cara para pelaku TPPO mempermudah para korban untuk dipekerjakan.
Baca: Antisipasi Pemalsuan Sertifikat Pelaut Tak Terulang, Kemenhub Perkuat Sistem dan Teknologi Informasi
Baca: Kelanjutan Perkara Perdagangan Orang ABK Kapal Long Xing 629, Berkas Bakal Dilimpahkan ke JPU
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, perdagangan orang dimulai sejak proses perekrutan.
Korban dijanjikan pekerjaan legal, majikan yang baik dan penghasilan yang cukup.
Bahkan, bagi keluarga korban, perekrut memberikan sejumlah uang tali asih.
“Mereka [korban] kemudian dibekali dokumen identitas palsu, KTP, dan paspor,” jelas Edwin dalam keterangannya, Minggu (27/6/2020).
Praktik perdagangan orang sektor perikanan (ABK) biasanya melibatkan dua pihak yaitu, penyalur dan pihak perusahaan/kapal penerimanya.
Penyalur bertugas melakukan perekrutan, penyiapan dokumen, perjanjian kerja, dan pengiriman para ABK ini ke negara tujuan.
Sementara perusahaan/kapal penangkap ikan merupakan milik warga negara asing.
Selain orang perorangan, korporasi, kelompok terorganisir dan/atau penyelenggara negara juga dapat dijerat sebagai pelaku TPPO.