Kritik Jokowi Marah-marah ke Menteri, Fadli Zon: Kasihan Sekali Letjen Doni Monardo
Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon memberi tanggapan terkait sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang marah-marah saat rapat kabinet.
Penulis: Daryono
Editor: Garudea Prabawati
Kedua, masih terkait prinsip dasar kepemimpinan, mengkritik, menegur, atau memarahi anak buah di muka publik bukanlah sebuah tindakan yg patut.
Pemimpin memang boleh menegur, bahkan hingga sekeras-kerasnya pada anak buah, atau memarahi mereka sekasar-kasarnya, namun semua itu seharusnya dilakukan di ruang tertutup.
Sebaliknya, dalam urusan prestasi, jika anak buahnya cakap maka seorang pemimpin seharusnya memuji anak buahnya di ruang terbuka. Selain sebagai bentuk apresiasi, hal itu juga untuk mendongkrak wibawa kepemimpinannya.
Dengan kata lain, cara seorang pemimpin meninggikan dirinya sendiri adalah dengan meninggikan anak buahnya. Sebaliknya, jika seorang pemimpin merendahkan anak buahnya, maka sebenarnya dia sedang merendahkan diri sendiri.
Kenapa isu adab kepemimpinan ini perlu kita anggap penting, karena kunci utama menghadapi dan menangani krisis adalah kepemimpinan.
Seperti pernah saya singgung beberapa waktu lalu, saya setuju dengan pernyataan Jeffrey Sachs bahwa untuk menghadapi pandemi dan krisis yang mengikutinya, dibutuhkan sebuah kepemimpinan yang cakap,
yaitu para pemimpin yang bisa memobilisasi sumber daya nasional untuk merespon bencana dan krisis. Hanya pemimpin cakap yang akan bisa membawa sebuah negara keluar dari krisis dan pandemi.
Itulah yg menjelaskan kenapa Jerman dan Selandia Baru, misalnya, berhasil mengatasi pandemi, sementara Amerika Serikat nampak kalang kabut menghadapi Covid-19. Itu tak terlepas dari soal kepemimpinan.
Menurut sy kemarahan dalam rapat paripurna kabinet itu merupakan ekspresi rasa frustrasi Presiden dalam menghadapi situasi krisis saat ini. Tapi kemarahan itu tidak ada gunanya buat rakyat, kecuali hanya bagi pribadi Presiden.
Ketika Presiden mengeluhkan tak adanya langkah ‘extraordinary’ dalam mengatasi krisis, atau menganggap anggota kabinetnya tidak memiliki ‘sense of crises’,
maka persoalan itu bukan hanya ada pada satu-dua orang menteri saja, namun melekat pada seluruh pemerintahannya. Sebab, dengan ataupun tanpa Covid-19, sejak awal pemerintahan ini selalu menyangkal bakal datangnya krisis.
Bagaimana bisa memitigasi krisis, jika posisi Pemerintah selalu menyangkal potensi dan ancaman krisis? Mari kita lihat buktinya.
Pertama, Pemerintah lambat merespon krisis. Saat kasus pertama Covid-19 diakui Pemerintah untuk pertama kalinya pada awal Maret lalu, Presiden menolak menerapkan status darurat nasional.
Padahal, sejak 10 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyurati Presiden agar menetapkan status darurat nasional. Rekomendasi status darurat nasional itu bukan hal yg mengada-ada, sebab WHO sendiri sudah menetapkan status darurat global untuk menghadapi Covid-19.