PKS Sebut Naskah Akademik Omnibus Law Ciptaker Tidak Layak dan Tidak Berkualitas
Syahrul Aidi Maazat mengatakan hingga saat ini kasus Covid-19 di Indonesia masih terus mengalami peningkatan.
Editor: Hasanudin Aco
Beberapa isu yang mengemuka dari revisi UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung ini adalah dihapuskannya peran Pemerintah Daerah dalam membina wilayahnya melalui penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Sebab, kata dia, dalam RUU ini IMB akan diganti menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang nantinya akan diterbitkan oleh Pemerintah Pusat, yang belum tentu mengerti kondisi wilayah yang ada di berbagai daerah mengingat betapa luasnya wilayah Indonesia dan betapa khasnya permasalahan di setiap daerah. Juga mengurangi semangat otonomi daerah yang tercantum dalam Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945 Amandemen ke-2.
"Isu lainnya adalah dihapuskannya materi muatan terkait persyaratan Bangunan Gedung dimana didalamnya terdapat berbagai aturan terkait keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan yang sudah barang tentu dapat membahayakan pengguna gedung dan bisa jadi sebuah bangunan gedung tidak lagi ramah bagi penyandang cacat dan lansia apabila persyaratan-persyaratan tersebut tidak wajib dipenuhi," ujar Syahrul.
Kemudian, kata Syahrul, terdapat pula isu terkait proses penerbitan PBG (dulu IMB) dan SLF yang berpotensi menimbulkan praktek persaingan usaha yang tidak sehat dan menyuburkan praktek percaloan, dimana jangka waktu antara penerbitan PBG dengan pendirian Bangunan Gedung tidak lagi dibatasi.
Baca: 6 Serikat Pekerja dan Buruh Konsisten Kawal Pembahasan Kluster Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja
Oleh sebab itu mengingat lebih dari 80% materi muatan UU No. 28 tahun 2002 akan direvisi melalui RUU Cipta Kerja ini, maka FPKS mendorong agar pembahasannya dikembalikan ke komisi V yang secara khusus membidangi persoalan Bangunan Gedung.
"Hal ini dibutuhkan agar dapat membahas lebih dalam revisi UU tersebut dengan mengundang pakar khusus terkait UU yang direvisi," ujarnya.
Selain itu FPKS juga meminta Pemerintah menghadirkan argumentasi yang memadai terkait indikasi adanya tumpang tindihnya peraturan dalam UU No. 28 tahun 2002 ini dengan UU lainnya, yang menyebabkan UU ini harus direvisi melalui kajian empirik dan bukan melalui hipotesa yang subjektif tanpa data yang valid.