Sidang Virtual, Konsekuensi di Tengah Pandemi Covid-19
Dia menilai, Kejaksaan Agung telah melakukan terobosan hukum dengan berinovasi dalam melaksanakan persidangan secara online.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf, menilai sidang secara online dengan cara video conference merupakan konsekuensi yang harus dihadapi di tengah pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19).
Menurut dia, pencantuman norma sidang secara online di dalam revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan sesuatu yang realistis.
“Jadi tidak bisa dihindari ketika persoalan persidangan tetap harus berjalan dengan kondisi berbagai keterbatasan, dengan sekaga resiko kalau hadir secara fisik, jadi jalan keluarnya sidang tetap berjalan itu dengan menggunakan online. Karena kalau misalnya kita tunda-tunda terus persidangan maka akan numpuk pada suatu saat jika akan menggelar sidang," kata dia, Kamis (23/7/2020).
Dia menilai, Kejaksaan Agung telah melakukan terobosan hukum dengan berinovasi dalam melaksanakan persidangan secara online.
Baca: Susah Ikuti Sidang Virtual, Vicky Prasetyo Ingin Dihadirkan di Ruang Sidang, Hakim Menolak
Tercatat hingga awal Juli 2020 telah menggelar sidang online sebanyak 176.912 kali persidangan online kasus pidana umum.
Selain itu, kata dia, persidangan online disebut sebagai jawaban bagi pencari keadilan selama masa pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia.
Namun, dia melihat, dalam praktek tidak semua persidangan dilaksanakan secara online seperti saat sidang pembacaan vonis terhadap terdakwa agar bisa dihadirkan secara fisik, tentu menerapkan protokol kesehatan ketat.
“Proses-proses pengadilan bisa dengan cara itu, dengan cara online tidak ada pilihan lain memang," kata dia.
Untuk perkara pidana, dia menjelaskan, apabila tersangka tidak segera diadili dan mengalami penahanan yang terlalu lama akan merugikan yang bersangkutan.
Begitupun dengan kasus perdata, ia mencontohkan kasus perdata yang tekait bisnis, kalau tidak segera diselesaikan tentunya akan menimbulkan kerugian.
“Hemat saya yang paling realistis ya sidang online itu,” kata Asep.
Menyangkut keamanan jaringan, dia memandang, negara berkewajiban melindungi dan memastikan tidak ada yang bisa dimanipulasi atau terganggu dengan serangan dari luar.
Dia mencontohkan, lembaga penyelenggara pemilu, KPU, mempunyai proteksi-proteksi terhadap proses dari penghitungan suara, data pemilih dan sebagainya, itu tugas negara untuk itu.
Selain itu, dia menambahkan, para pihak memiliki kesadaran untuk mengikuti sidang online dan mematuhinya.
“Para pihak itu aware bisa mengikuti persidangan itu, jadi harus ada kesadaran untuk bisa mengikuti persidangan, memastikan mempercepat, memfasilitasi sidang dengan online untuk mempercepat proses hukum yang bisa memperoleh keadilan dan kepastian," tambahnya.