Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Komisi X DPR Sebut Lebih Baik Anggaran POP untuk Bantu Siswa Tak Mampu Beli Pulsa dan Gawai

Lebih baik ada anggaran untuk mensubsidi pembelian kuota dan gawai, untuk mendukung siswa yang tidak mampu

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
zoom-in Komisi X DPR Sebut Lebih Baik Anggaran POP untuk Bantu Siswa Tak Mampu Beli Pulsa dan Gawai
Istimewa
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda menyoroti besaran anggaran yang dialokasikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud) untuk Program Organisasi Penggerak (POP) sebesar Rp 595 miliar.

Menurutnya, anggaran sebesar itu tidak bijak dipakai untuk POP yang menuai protes dari masyarakat.

Baca: KPK Terima Kemendikbud Beri Masukan Gaduhnya POP

Selain itu, di tengah pandemi virus corona atau covid-19, Huda menilai lebih baik ada anggaran untuk mensubsidi pembelian kuota dan gawai, untuk mendukung siswa yang tidak mampu dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ).

"Menurut saya POP ini, kalau tetap dipaksakan, walaupun ada aspirasi mendingan di cancel seluruhnya, tetapi kelihatannya Mendikbud ingin tetap melaksanakan ini," kata Huda dalam Dialektika Demokrasi bertajuk 'Polemik POP Kemendikbud, Kemana Arah Pendidikan Indonesia' yang digelar Biro Pemberitaan Parlemen DPR RI secara virtual di Jakarta, Kamis (30/7/2020).

"Menurut saya dikasih 100 miliar juga sudah cukup bagus, selebihnya kurang lebih sekitar Rp 495 miliar mendingan dipakai untuk mensubsidi kuota dan pembelian smartphone, untuk anak-anak peserta didik di daerah-daerah yang mengalami kesulitan menyangkut soal ini," imbuhnya.

Menurut Huda, awalnya desiain POP memang dalam suasana normal, bukan darurat pandemi Covid-19 sehingga skemanya berbeda dengan kondisi normal, termasuk anggaran yang Rp 595 l miliar tersebut.

Berita Rekomendasi

Huda mengatakan sejak awal Komisi X DPR mengingatkan agar tidak terjadi gap, kontradiktif antara gagasan dan operasional terkait siapa dan organisasi apa saja yang lolos kriteria POP tersebut.

Bagaimana juga POP itu memperlakukan organisasi seperti NU dan Muhammadiyah yang memiliki ribuan satuan pendidikan dari PAUD hingga SMA itu tidak disamakan dengan yang tidak memiliki satuan pendidikan.

"Sayangnya tak ada jawaban dari Kemendikbud RI. Padahal, skema anggarannya full APBN. Tapi, setelah ada protes masyarakat pasca mundurnya NU, Muhammadiyah, dan PGRI, Pak Nadiem bilang ada dua skema tambahan, yaitu mandiri dan pendampingan plus APBN. Kalau jawaban skema anggarannya itu di luar APBN, karena terdesak protes dan itu salah, ya tetap salah," ucap Huda.

Lebih lanjut, Huda minta Menkdikbud menunda POP karena sudah kehilangan legitimasi dengan tak terlibatnya NU, Muhammadiyah, PGRI dan lain-lain.

Baca: Setelah Minta Maaf, Mendikbud Disarankan Hentikan POP untuk Evaluasi

Menurutnya, Kemendikbud lebih fokus pada PJJ yang sulit saat ini. Komisi X DPR pun akan mengundang Pak Nadiem untuk mengevaluasi komprehensif masalah POP tersebut.

"Kami minta apapun keputusannya soal POP itu harus mendapat persetujuan DPR RI dan diterima publik," pungkas Huda.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas