Pemerintah Harap RUU Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa Bisa Masuk Prolegnas 2021
Setelah 10 tahun, sejak 2010, pemerintah melalui Menteri Luar Negeri Martin Natalegawa telah menandatangani Konvensi tersebut.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasanudin Aco
"Jadi RUU ini, seperti mekanisme yang sudah diatur harus memperoleh lagi izin prakarsa," paparnya.
Sosialisasi kepada kelompok masyarakat sipil dan akademisi dilakukan pemerintah untuk RUU ini sepanjang 2019 hingga awal 2020.
Diskusi dan FGD dilakukan pemerintah untuk mendapatkan masukan-masukan terkait naskah akademik dari RUU tersebut.
"Banyak masukan kita dapat terkait naskah akademik di Surabaya 2019, di Lampung pada Oktober 2019, terakhir Desember 2019 di Jakarta," jelasnya.
Kini kata dia, naska akademik masih dalam tahap penyelesaian agar bisa dimasukkan ke DPR RI 2020.
Seiring dengan itu pula izin prakarsa sedang diajukan untuk bisa diperoleh tahun ini.
"Kalau yang dua ini sudah didapat, maka 2021 sudah bisa masuk ke DPR dan prolegnas," ujarnya.
Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Asia Federation Against Involuntary Disappearance (AFAD) sebagai organisasi masyarakat sipil yang konsisten melakukan advokasi terkait isu penghilangan orang secara paksa, mendesak Pemerintah untuk segera melakukan ratifikasi Konvensi Internasional Untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (selanjutnya disebut Konvensi) untuk menunjukkan komitmen pemerintah dalam melakukan perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM.
Konvensi ini dibutuhkan sebagai upaya preventif dan korektif Negara dalam menjamin perlindungan bagi semua orang dari penghilangan paksa, mengingat praktik penghilangan paksa juga terjadi di Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru, dalam kasus – kasus pelanggaran HAM yang berat, seperti peristiwa 1965–1966, Timor–Timur 1975-1999, Tanjung Priok (Jakarta) 1984, Tragedi Talangsari (Lampung) 1989, Masa Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua, Penembakan Misterius (Petrus) 1981-1985, Penculikan aktivis 1997/1998.
Demikian pernyataan bersama KontraS dan organisasi masyarakat sipil, 26 November 2019.
Pengesahan Konvensi ini juga sejalan dengan salah satu rekomendasi DPR yang dikeluarkan pada tahun 2009 untuk kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998, butir ke–4 (keempat): “merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia”.
Rencana ratifikasi juga telah 2 (dua) kali masuk dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM yakni pada periode 2011 – 2014 dan 2015–2018. Selain itu, Pemerintah telah menandatangani Konvensi ini pada tahun 2010 silam.
Keuntungan melakukan ratifikasi Konvensi bagi Indonesia adalah memperkuat sistem legislasi dan supremasi hukum dalam negeri. Hal tersebut berkaitan dengan pemberian kepastian hukum bagi korban dan keluarga korban.
Dalam kasus-kasus penghilangan orang secara paksa, kepastian hukum memberikan afirmasi akan keberadaan/status korban.