NasDem: Warga yang Ditangkap saat Demo UU Cipta Kerja Harus Didampingi Penasihat Hukum
Taufik Basari mengatakan massa atau warga yang ditangkap kepolisian saat demo tolak UU Cipta kerja harus mendapatkan akses pendampingan hukum
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Fraksi NasDem Taufik Basari angkat bicara soal penangkapan terhadap massa yang melakukan unjuk rasa terkait penolakan UU Cipta Kerja.
Taufik Basari mengatakan massa atau warga yang ditangkap kepolisian harus mendapatkan akses pendampingan penasihat hukum.
"Bagi warga yang dilakukan penangkapan, pihak kepolisian wajib memberikan kesempatan untuk mendapatkan akses pendampingan penasihat hukum dan menjalankan prinsip fair trial sesuai KUHAP," ujar Taufik Basari, saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (9/10/2020).
Baca: Anggota Komisi II DPR Prihatin Aksi Massa Tolak UU Cipta Kerja di 18 Provinsi Diwarnai Kekerasan
Tak hanya itu, Taufik Basari juga menyoroti adanya laporan terkait jurnalis-jurnalis yang menjadi korban kekerasan aparat kepolisian saat meliput unjuk rasa.
Seharusnya aparat kepolisian tidak menggunakan kekerasan di lapangan, baik kepada massa aksi unjuk rasa maupun kepada jurnalis.
Baca: Ricuh Demo Tolak UU Cipta Kerja di Medan, 34 Polisi Terluka, 231 Pengunjuk Rasa Diamankan
"Komandan di lapangan harus menjaga agar tidak ada anak buahnya melakukan tindak kekerasan dan hal lainnya yang melanggar prosedur. Untuk yang telah kejadian, harus diambil tindakan tegas kepada oknum pelakunya," kata dia.
Politikus Nasdem itu juga menegaskan polisi tak boleh lepas tangan jika ada pihak-pihak yang dikabarkan hilang atau terluka.
Kepolisian diharapkan tetap melakukan tugasnya dan memastikan tidak ada warga yang hilang serta perawatan terhadap korban yang terluka dapat tertangani.
"Tindakan dan penanganan oleh aparat yang tidak sesuai dengan prosedur justru akan memperburuk keadaan. Karena itu profesionalisme aparat dalam menghadapi situasi ini turut diharapkan dapat membantu terciptanya situasi yang lebih kondusif," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja berujung ricuh. Tidak hanya ribuan peserta unjuk rasa yang dinyatakan hilang, akan tetapi ada belasan jurnalis yang juga dikabarkan menghilang.
Hal tersebut diungkapkan oleh Pengacara LBH Pers Ahmad Fathanah. Menurutnya, total ada 18 jurnalis yang menghilang dan tak bisa dihubungi usai liputan aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Rinciannya, 17 dari 18 orang yang dilaporkan menghilang berasal dari pers mahasiswa (Persma). Sementara itu, ada satu jurnalis media online merahputih.com bernama Ponco Sulaksono yang juga menghilang.
Namun berdasarkan informasi, jurnalis Ponco Sulaksono ikut ditahan bersama peserta unjuk rasa lainnya di Polda Metro Jaya.
"Persma kurang lebih 17 orang," kata Ahmad dalam keterangannya, Jumat (9/10/2020).
Selan itu, sejumlah jurnalis juga dikabarkan mengalami tindakan represif oleh oknum aparat penegak hukum. Ada perlengkapan liputan yang dirampas, ada pula yang dirusak saat meliput aksi.
Salah satunya, memori kamera milik jurnalis Suara.com atas nama Peter Rotti. Saat meliput aksi, memori kamera Peter dirampas karena diduga tengah merekam aksi pemukulan para peserta unjuk rasa.
Akibat kejadian itu, Peter juga sempat dapat tindakan kekerasan. Di antaranya diseret dan dianiaya hingga mengalami luka lebam.
"Selain itu, ada kasus HP wartawan CNNIndonesia.com, Thohirin diambil polisi," tandasnya.
Legislator Gerindra Kecam Kekerasan Terhadap Jurnalis yang Liput Demonstrasi Tolak UU Cipta Kerja
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra Habiburokhman mengecam keras aksi kekerasan yang dilakukan terhadap jurnalis, wartawan, atau awak media saat melakukan peliputan.
Diketahui, sejumlah jurnalis dilaporkan mendapat tindak kekerasan hingga intimidasi oleh aparat kepolisian saat meliput unjuk rasa terkait penolakan UU Cipta Kerja.
Habiburokhman menegaskan aksi kekerasan yang dilakukan terhadap jurnalis saat meliput jelas melanggar hukum.
Baca: Ricuh Demo Tolak UU Cipta Kerja di Medan, 34 Polisi Terluka, 231 Pengunjuk Rasa Diamankan
"Kami mengecam keras segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis. Jelas itu melanggar hukum dan konvensi HAM internasional," ujar Habiburokhman, ketika dihubungi Tribunnews.com, Jumat (9/10/2020).
Kekerasan terhadap jurnalis bukanlah kali pertama terjadi, karenanya Habiburokhman menegaskan Komisi III akan berkomunikasi dengan Kapolri Jenderal Pol Idham Azis.
Baca: Suasana Gedung Kementerian ESDM yang Jadi Sasaran Pengunjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja
Dia mengatakan akan meminta penjelasan terkait protap lapangan kepolisian jika bertemu dengan jurnalis yang meliput aksi unjuk rasa atau demo.
Tak hanya itu, Habiburokhman juga meminta ada tindakan tegas terhadap oknum pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
"Kami akan munta Kapolri menindak tegas jajarannya yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Kami juga akan meminta Kapolri menjelaskan protap lapangan jika saat demo ditemui jurnalis yang meliput. Harusnya petugas kepolisian justru melindungi, bukan melakukan kekerasan," tegas Habiburokhman.
Belasan Jurnalis Dilaporkan Hilang dan Tidak Bisa Dihubungi Usai Meliput Demo di Jakarta
Aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja berujung ricuh.
Tidak hanya ribuan peserta unjuk rasa yang dinyatakan hilang, akan tetapi ada belasan jurnalis yang juga dikabarkan menghilang.
Hal tersebut diungkapkan oleh Pengacara LBH Pers Ahmad Fathanah.
Menurutnya, total ada 18 jurnalis yang menghilang dan tak bisa dihubungi usai liputan aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Rinciannya, 17 dari 18 orang yang dilaporkan menghilang berasal dari pers mahasiswa (Persma).
Baca: Seorang Jurnalis Diduga Dianiaya dan Dintimidasi Saat Liput Demo Tolak UU Cipta Kerja di Jakarta
Baca: Wartawan Merahputih.com Dikabarkan Hilang Saat Liput Demonstrasi Tolak UU Cipta Kerja
Sementara itu, ada satu jurnalis media online merahputih.com bernama Ponco Sulaksono yang juga menghilang.
Namun berdasarkan informasi, jurnalis Ponco Sulaksono ikut ditahan bersama peserta unjuk rasa lainnya di Polda Metro Jaya.
"Persma kurang lebih 17 orang," kata Ahmad dalam keterangannya, Jumat (9/10/2020).
Selan itu, sejumlah jurnalis juga dikabarkan mengalami tindakan represif oleh oknum aparat penegak hukum.
Ada perlengkapan liputan yang dirampas, ada pula yang dirusak saat meliput aksi.
Salah satunya, memori kamera milik jurnalis Suara.com atas nama Peter Rotti.
Saat meliput aksi, memori kamera Peter dirampas karena diduga tengah merekam aksi pemukulan para peserta unjuk rasa.
Akibat kejadian itu, Peter juga sempat dapat tindakan kekerasan. Di antaranya diseret dan dianiaya hingga mengalami luka lebam.
"Selain itu, ada kasus HP wartawan CNNIndonesia.com, Thohirin diambil polisi," tandasnya.
Seorang Jurnalis Diduga Dianiaya dan Dintimidasi Saat Liput Demo Tolak UU Cipta Kerja di Jakarta
Seorang jurnalis dari Suara.com, Peter Rotti, dianiaya, diintimidasi, dan dirampas alat kerjanya oleh sekelompok orang yang diduga aparat kepolisian saat meliput aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (8/10/2020).
Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 18.00 WIB, saat Peter merekam video aksi sejumlah aparat kepolisian mengeroyok seorang peserta aksi di sekitar halte Transjakarta Bank Indonesia.
Baca: Jubir Kementerian ATR/BPN: Tidak Ada Pasal dalam UU Cipta Kerja yang Bisa Merampas Tanah Rakyat
Ketika itu, Peter berdua dengan rekannya yang juga videografer yakni Adit Rianto S melakukan live report via akun YouTube peristiwa aksi unjuk rasa tersebut.
Melihat Peter merekam aksi sekelompok orang yang diduga polisi menganiaya peserta aksi dari kalangan mahasiswa, tiba-tiba seorang yang diduga aparat berpakaian sipil serba hitam menghampirinya.
Enam orang yang diduga anggota Brimob kemudian menyusul menghampirinya.
Mereka meminta kamera Peter.
Baca: Ridwan Kamil Kirim Surat untuk Jokowi dan Puan Maharani Tolak UU Cipta Kerja, Apa Isinya?
Namun Peter menolak sambil menjelaskan dirinya jurnalis yang sedang meliput.
Namun, mereka memaksa dan merampas kamera Peter.
Seorang yang diduga polisi kemudian sempat meminta memori kamera.
Namun, Peter menolak dan menawarkan akan menghapus video aksi kekerasan aparat polisi terhadap seorang peserta aksi.
Mereka kemudian bersikukuh dan merampas kamera jurnalis video tersebut.
Tak hanya itu Peter pun mengaku diseret sambil dipukul dan ditendang oleh segerombolan orang yang diduga polisi.
Baca: Mengenal Wulan, Sosok di Balik Video Viral Tiktok Mahasiswi UNM Saat Demo Tolak UU Cipta Kerja
"Saya sudah jelaskan kalau saya wartawan, tetapi mereka tetap merampas dan menyeret saya. Tadi saya sempat diseret dan digebukin, tangan dan pelipis saya memar," kata Peter dalam keterangan yang diterima pada Kamis (8/10/2020) malam.
Setelah merampas kamera, mereka mengambil memori yang berisi rekaman video liputan aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di sekitar patung kuda, kawasan Monas Jakarta.
Kemudian kamera Peter dikembalikan kepadanya.
"Kamera saya akhirnya dikembalikan, tetapi memorinya diambil sama mereka," kata Peter.
Saat ini Peter dalam kondisi memar di bagian muka dan tangannya akibat penganiayaan yang diduga dilakukan aparat kepolisian tersebut.
"Saya selaku Pemred Suara.com mengecam aksi penganiayaan terhadap jurnalis kami, maupun jurnalis media-media lain yang mengalami aksi serupa. Sebab, jurnalis dalam melakukan tugas-tugas jurnalistik selalu dilindungi oleh perundang-undangan. Saya juga mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas hal ini," kata Pemimpin Redaksi Suara.com Suwarjono.