Mengenang 40 Hari Jakob Oetama, Sosok Pendiri Kompas Gramedia Dinilai Extraordinary
Kepergian Jakob Oetama, pendiri grup Kompas Gramedia, pada 9 September 2020 lalu masih terlintas di pikiran. Sosoknya selalu diingat.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –Kepergian Jakob Oetama, pendiri grup Kompas Gramedia, pada 9 September 2020 lalu masih terlintas di pikiran. Sosoknya selalu diingat.
Dalam rangka memperingati 40 hari kepergian Jakob Oetama, sekaligus untuk mengenang pendiri grup Kompas Gramedia itu, sejumlah wartawan senior Harian Kompas menerbitkan dua buku yang bercerita tentang Jakob Oetama.
Buku itu masing- masing berjudul ”Jakob Oetama, Kisah Kecil Bermakna Besar” dan satu buku lagi berjudul ”Peninggalan Sang Pemula.”
Dua buku itu berisikan penggalan cerita pengalaman para karyawan Harian Kompas yang pernah bersentuhan langsung dengan sosok Jakob Oetama.
Sosok Extraordinary
Wartawan senior Mohammad Nasir juga turut mengenang sosok Jakob Oetama yang meninggal 18 hari sebelum ulang tahun yang ke-89.
Bagi Nasir, semua tentang Jakob Oetama sangat menarik. Jakob, kata Nasir, adalah sosok yang extraordinary (luar
biasa).
"Apa yang dikatakan dalam pendahuluan Pak Jakob itu menurut saya lebih dari itu. Pak Jakob Oetama itu sangat extraordinary. Mulai dari lahir, tempatnya, kiprahnya, pendidikannya, sampai karya-karya beliau extraordinary," ucap dia.
Nasir menyebut, bagi seorang penulis biografi, Jakob Oetama ini adalah Taman Firdaus.
Dimulai dari kronologis, tematis, mau dijungkirbalik ke tahun berapapun, semua tentang Jakob Oetama itu extraordinary. Dan semua hal tentang Jakob Oetama, lanjut Nasir, pantas diangkat menjadi yang pertama, tulisan awal, yang pasti dibaca orang dari awal sampai akhir.
Salah satunya tempat lahir Jakob Oetama yang terletak 500 meter di sebelah timur Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
"Beliau itu dilahirkan di 500 meter di sebelah timur Candi Borobudur. Kita tahu Candi Borobudur ini memang extraordinary, luar biasa ini warisan dunia. Di situlah masa kecil Bapak Jakob itu bermain sebelum beliau bergabung dengan teman-teman sebayanya di Seminari Mertoyudan," ujar dia.
Nama Seminari Mertoyudan sendiri diambil nama besar. Seminari Mertoyudan adalah seminari tertua. "Jadi kalau ditulis seminari itu sendiri, itu sudah extraordinary.
Bukan seminari yang baru. Artinya sudah men-sejarah," ucap Nasir.
Humanisme Transendental
Kemudian, lanjut Nasir, Jakob Oetama juga digembleng dan dididik oleh para Romo yang menurut Jakob itu hebat. Sosok romo yang mengajar di Seminari Mertoyudan itu kerap diceritakan Jakob kepada jajarannya di Harian Kompas dalam berbagai rapat internal.