Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mengenang 40 Hari Jakob Oetama, Sosok Pendiri Kompas Gramedia Dinilai Extraordinary

Kepergian Jakob Oetama, pendiri grup Kompas Gramedia, pada 9 September 2020 lalu masih terlintas di pikiran. Sosoknya selalu diingat.

Editor: Anita K Wardhani
zoom-in Mengenang 40 Hari Jakob Oetama, Sosok Pendiri Kompas Gramedia Dinilai Extraordinary
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Keluarga berdoa di depan peti jenazah almarhum pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama di rumah duka, di Jakarta, Rabu (9/9/2020). Jakob Oetama meninggal pada usia 88 tahun di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading karena penyakit. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

"Beliau juga punya pengalaman diajak boncengan ke Jogja membeli nasi untuk teman-temannya yang tinggal di asrama. Ini bentuk kepedulian yang luar biasa yang ditanamkan dari seminari untuk kemanusiaan," kata Nasir bercerita.

Apa yang ada di dalam diri Jakob Oetama adalah kemanusiaan yang disebut kemanusiaan yang beriman, atau kemanusiaan transendental.

Secara dramatis, atau untuk menarik pembaca itu, humanisme transendental itu kerap diartikan kemanusiaan
yang menjulang tinggi ke langit.

"Itu artinya yang vertikal itu, sehingga menyentuh wilayah-wilayah keimanan yang hakiki. Itu beliau yang melaksanakan sampai menciptakan atau mendirikan Kompas," jelas dia.

Humanisme yang diciptakan Jakob Oetama ini bukan sekadar cerita di mulut. Ketika Kompas berdiri pada tahun 1965, pada tahun 1966 Jakob sudah mendirikan Dompet Kompas. Dompet Kompas berdiri atas seruan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang meminta bantuan ketika Jakarta sedang dilanda banjir.

Pada tahun 2012, Dompet Kompas berubah nama menjadi Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas. Yayasan ini digunakan Jakob Oetama untuk kepentingan kemanusiaan. Salah satunya saat terjadi Tsunami Aceh 2004 silam.

"Beliau itu sering bertanya kalau kita sedang menggalang dana. Dia bertanya dapat berapa, saya kira
beliau itu tidak butuh uang, uang beliau itu banyak, tidak butuh uang pembaca. Ternyata beliau ingin tahu, sejauh mana kepercayaan masyarakat terhadap Kompas yang dititipi dana itu," kenang Nasir.

Berita Rekomendasi

Pada 2004, bantuan dana yang disumbangkan masyarakat untuk korban bencana Tsunami Aceh mencapai miliaran rupiah. Saat itu, kata Nasir, Jakob Oetama begitu senang dan merasa bangga.

"Kita masih dipercaya masyarakat ya bung, kita peliharalah terus. Jadi jumlah uang yang terkumpul dalam dompet Kompas itu adalah representasi kepercayaan masyarakat," ucap Nasir menirukan ucapan Jakob Oetama.

Petugas membawa peti jenazah almarhum Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama untuk disemayamkan di Kantor Kompas Gramedia, Jakarta, Rabu (9/9/2020) malam. Jakob Oetama meninggal dunia di usia 88 tahun setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara akibat gangguan multiorgan, dan rencananya akan dimakamkan di TMP Kalibata pada Kamis (10/9). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Petugas membawa peti jenazah almarhum Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama untuk disemayamkan di Kantor Kompas Gramedia, Jakarta, Rabu (9/9/2020) malam. Jakob Oetama meninggal dunia di usia 88 tahun setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara akibat gangguan multiorgan, dan rencananya akan dimakamkan di TMP Kalibata pada Kamis (10/9). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Tsunami Aceh
Nasir menceritakan, Jakob Oetama turun langsung ke lapangan saat menyalurkan bantuan dana untuk korban Tsunami Aceh. Pelaksanaan di lapangan, Jakob ikut mengontrol ketika rehabilitasi gedung-gedung yang ambruk karena Tsunami di Aceh.

"Beliau turun ke Aceh untuk meninjau progres pembangunan asrama di sana, asrama kampus. Kemudian beliau itu juga sering menelepon saya, bertanya, ada tidak orang yang menghalang-halangi penyaluran dana untuk masyarakat," ujar dia.

Nasir kemudian diminta menghadap, dan secara khusus Jakob bertanya, ada tidak ada orang-orang yang menghambat penyaluran dana untuk korban Tsunami Aceh.

"Saya tidak menyebutkan, saya mengatakan itu bagian dari prosedur yang harus dihadapi karena ada perubahan sistem dan lain-lain," ucap Nasir menirukan jawabannya saat menghadap Jakob Oetama beberapa tahun silam.

Nasir kemudian menjelaskan, anak-anak di sekolah itu tidak langsung menerima bantuan yang disalurkan Kompas. Alasannya tak lain karena harus lewat pembayaran via rekening.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas