Refly Harun Mengaku Tidak Sreg dengan Instruksi Mendagri karena Dinilai Telah Langgar Otonomi Daerah
Terkait Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020, Refly Harun mengaku tidak sreg karena hal itu dinilai telah melanggar otonomi daerah.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, mengeluarkan Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Covid-19.
Dalam aturan tersebut Mendagri mengingatkan adanya sanksi pencopotan jabatan bagi kepala daerah yang mengabaikan kewajibannya, di antaranya menegakkan protokol kesehatan (prokes) Covid-19.
Pengamat Politik Refly Harun menyatakan, dirinya kurang menyetujui instruksi tersebut.
Refly Harun menganggap hal itu telah melanggar otonomi daerah, dan bukan ranah pemerintah pusat untuk menentukan hal-hal di daerah.
"Saya tidak sreg semuanya karena saya menganggap harusnya ada hal-hal yang harus menghargai otonomi daerah," ujar Refly Harun dalam video yang diunggah kanal YouTube-nya, Jumat (20/11/2020).
"Sehingga bukan ranah lagi pemerintah pusat untuk menentukan A-I-U di daerah masing-masing, apalagi soal Pilkada dan mudahnya pemberhentian," lanjutnya.
Adapun terkait pencopotan jabatan, Refly Harun mengatakan Presiden maupun Mendagri tidak bisa sewenang-wenang melakukannya.
Karena hal itu perlu ada alasan yang jelas dan tidak hanya didasarkan pada instruksi presiden (inpres) atau instruksi menteri (inmen).
Baca juga: Refly Harun Sebut Mendagri dan Presiden Tak Bisa Asal Copot Kepala Daerah yang Langgar Prokes Covid
Baca juga: Yusril Ihza Mahendra : Presiden dan Mendagri Tidak Berwenang Copot Kepala Daerah
"Alasan untuk memberhentikan tersebut tentu seperti yang dikatakan Prof Yusril, tidak bisa didasarkan pada inpres atau inmen, tetapi harus dasarnya pada undang-undang," jelasnya.
Sementara itu, aturan yang menjadi dasar pencopotan jabatan yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam undang-undang tersebut tertulis bahwa proses pemberhentian kepala daerah tidak hanya melibatkan satu lembaga/institusi pemerintah saja.
Akan tetapi bisa melibatkan tiga lembaga sekaligus atau minimal dua lembaga.
"Kalau tiga lembaga, DPRD dalam konteks provinsi/DPR di provinsi, lalu bisa juga Presiden sebagai administratif, lalu juga Mahkamah Agung, Presiden atau Mendagri," ujarnya.
Menyoal pencopotan kepala daerah karena melanggar protokol kesehatan Covid-19, apabila yang dilanggar adalah peraturan pemerintah (PP), maka ketidakpatuhan itu bisa dikonstruksikan sebagai sebuah pelanggaran atau tidak memenuhi janji jabatan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.