Femisida Meningkat, Puncak Kekerasan Berbasis Gender yang Tak Dikenali dan Diabaikan Negara
Kasus femisida meningkat, ironisnya femisida yang merupakan puncak kekerasan berbasis gender ini tak cukup dikenali hingga diabaikan oleh negara.
Penulis: Fitriana Andriyani
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
Motif menolak tanggung jawab mendasari pembunuhan terhadap mahasiswi di Makassar oleh pasangannya, karena hamil 4 bulan dan pasangan tak menghendaki kehamilan.
Baca juga: Pria Bunuh Pacar yang Tengah Hamil Pakai Racun & Kubur di Fondasi, Akui Khilaf & Ingin Gugurkan Bayi
Dalam konteks konflik sosial, pembunuhan perempuan didorong keinginan menjatuhkan mental lawan atau sebagai simbol kemenangan dengan menjadikan perempuan dari pihak lawan sebagai “sasaran antara”.
Komnas Perempuan melalui Kajian Kualitatif Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) di 10 Provinsi 17 Kabupaten/Kota pada 2018 mendapati kematian bayi perempuan karena pendarahan seusai pemotongan klitorisnya.
Femisida sebagai puncak dari kekerasan terhadap perempuan dilakukan dengan agresi maupun sadisme, seperti disembelih, dimutilasi, dibakar, diperkosa sebelum dan/atau setelah tewas, dirusak wajah atau organ seksual, sampai kepada penelanjangan tubuh setelah korban tewas sebagai wujud pelucutan martabat korban.
Faktor-faktor penyebab femisida antara lain, ketersinggungan maskulinitas, marah karena didesak bertanggung jawab atas kehamilan, menghindari tanggung jawab materi, kecewa ditolak cinta, cemburu, memaksa pelayanan maupun pemenuhan transaksi seksual, konflik dalam rumah tangga dan tidak mau dicerai, melakukan perlawanan saat diperkosa, dan seterusnya.
Baca juga: Gara-gara Dikatai Gigi Mirip Drakula, Pria Ini Bunuh Pacar, Sempat Coba Bunuh Diri sebelum Ditangkap
Baca juga: Pelajar Bunuh Pacar setelah Bersetubuh karena Cemburu, Leher Korban Dijerat Lalu Dimasukkan Karung
Baca juga: Sakit Hati Usai Lamaran Ditolak, Seorang Dosen di Bima Bunuh Pacar
Femisida juga terjadi karena tidak dijalankannya perintah pelindungan dari pengadilan padahal korban sudah mengadukan ancaman terhadap dirinya.
Hal-hal tersebut di atas tidak sejalan dengan jaminan hak untuk hidup (Pasal 28A), hak mendapat perlakuan hukum yang adil dan kepastian hukum (Pasal 28D), dan hak atas rasa aman (Pasal 28G) sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
Sebagai negara pihak Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang memandatkan negara untuk melakukan berbagai tindakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, maka terus terjadinya femisida merupakan kelalaian negara dalam upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Oleh karena itu, negara harus bertanggung jawab atas ketidakmampuan untuk mencegah, melindungi dan menjamin kehidupan perempuan yang berakibat mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan sepanjang hidup.
Tentang Femisida
Berbicara mengenai femisida, istilah ini pertama kali digunakan oleh Diana Russel pada International Tribunal on Crimes Against Women (1976) dan menempatkannya sebagai “pembunuhan misoginis terhadap perempuan oleh laki-laki”.
PBB mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan karena ia perempuan dan bentuknya bermacam-macam antara lain pembunuhan terhadap pasangan, pembunuhan terhadap perempuan dengan tuduhan tukang sihir, honour killings, pembunuhan dalam konflik bersenjata, pembunuhan karena mahar, dst-nya.
Femisida merupakan bentuk paling ekstrem dari kekerasan terhadap perempuan dan manifestasi dari diskriminasi terhadap perempuan dan ketidaksetaraan gender.
Kata ini digunakan untuk menunjukkan perbedaan dengan pembunuhan biasa (homicide) karena mengandung ketidaksetaraan gender, penindasan, perendahan dan kekerasan terhadap perempuan yang sistematis menjadi penyebab atau disebut sebagai “puncak kekerasan berbasis gender.”