Banjir di Kalsel Dipicu Berkurangnya Hutan, Saatnya Evaluasi Izin Perkebunan Sawit dan Tambang
Banjir di Kalimantan Selatan disebut sebagai dampak berkurangnya hutan primer dan sekunder yang terjadi dalam rentang 10 tahun terakhir.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM - Banjir di Kalimantan Selatan disebut sebagai dampak berkurangnya hutan primer dan sekunder yang terjadi dalam rentang 10 tahun terakhir.
Tim tanggap darurat bencana di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyebut diduga berkurangnya hutan yang disebut menjadi penyebab terjadinya banjir terbesar di Kalimantan Selatan.
Karena itu LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak pemerintah untuk mengevaluasi seluruh pemberian izin tambang dan perkebunan sawit di provinsi itu lantaran menjadi pemicu degradasai hutan secara masif.
Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Selatan menjanjikan bakal melakukan audit secara komprehensif terkait penggunaan lahan di sana agar bencana serupa tidak terulang.
Baca juga: Walhi Minta Menteri KKP Trenggono Cabut Kebijakan Ekspor Bibit Lobster
Baca juga: Tidak Semudah Itu Eropa Kampanye Negatif ke Komoditas Sawit Indonesia
Baca juga: Khawatir Terjadi Pencurian Saat Banjir di Kalsel, Warga Amankan Harta Dikawal Polisi
Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh di LAPAN, Rokhis Khomarudin, menjelaskan antara tahun 2010 hingga 2020 terjadi penurunan luas hutan primer sebesar 13.000 hektare, hutan sekunder 116.000 hektare, sawah dan semak belukar masing-masing 146.000 hektare dan 47.000 hektare.
Sebaliknya, kata Rokhis, area perkebunan meluas "cukup signifikan" 219.000 hektare.
Kondisi tersebut, ia melanjutkan, "memungkinkan terjadinya banjir" di Kalimantan Selatan, apalagi curah hujan pada 12 hingga 13 Januari 2020 sangat lebat berdasarkan pantauan satelit Himawari 8 yang diterima stasiun di Jakarta.
"Ya itu analisis kami, makanya disebutkan kemungkinan. Kalau dari hujan berhari-hari dan curah hujan yang besar sehingga perlu analisis pemodelan yang memperlihatkan apakah pengaruh penutup lahan berpengaruh signifikan," ujar Rokhis kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (17/01).
Data yang ia pegang menunjukkan total area perkebunan di sepanjang Daerah Sungai (DAS) Barito kini mencapai 650.000 hektare.
Jika dibandingkan dengan luasan hutan di sekitar DAS yang mencapai 4,5 juta hektare, maka perkebunan telah menghabiskan 12 hingga 14% dari keseluruhan area.
Kendati area hutan masih mendominasi, tapi Rokhis berharap tidak terus tergerus. Sebab kajian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan Kalimantan Selatan termasuk daerah yang berisiko terhadap bencana banjir.
"Kita paham bahwa perkebunan itu berhubungan dengan ekonomi, tapi harus diperhatikan unsur lingkungannya," imbuh Rokhis.
Pantauan LAPAN setidaknya ada 13 kabupaten dan kota yang terdampak banjir, tujuh di antaranya luas genangan banjir mencapai 10.000 sampai 60.000 hektare.
"Kabupaten Barito luas genangan 60.000 hektare, Kabupaten Banjar 40.000 hektare, Kabupaten Tanah Laut sekitar 29.000 hektare, Kabupaten Hulu Sungai Tengah kira-kira 12.000 hektare, Kabupaten Hulu Sungai Selatan mencapai 11.000 hektare, dan Kabupaten Tapin 11.000 hektare."