12 Catatan Kritis LBH Jakarta untuk Calon Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo
LBH menitikberatkan catatannya soal isu pelanggaran HAM dan keterlibatan Polri dalam politik kekuasaan.
Penulis: Reza Deni
Editor: Malvyandie Haryadi
Kemudian, tercatat juga demonstrasi menolak Revisi KUHP dan Revisi UU KPK di Jakarta (#ReformasiDikorupsi), polisi melakukan kekerasan setidaknya kepada 88 orang dan dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina dan 2 orang menderita luka pada bagian kepala.
4. Kriminalisasi Aktivis
Kepolisian tampak terseret arus politik kekuasaan. Ketika Polri menunjukkan praktik penegakan hukum yang sulit dibedakan dari bentuk praktik aparat represif kekuasaan terhadap masyarakat atau oposisi yang mengkritik dan memiliki pandangan yang berbeda dengan pemerintah.
Hal ini menjadikan polisi sebagai alat kekuasaan bukan alat negara untuk penegakan hukum yang adil dan imparsial. Polri diduga terlibat dalam banyak upaya pembungkaman dan kriminalisasi aktivis melalui berbagai penerapan pasal karet seperti Pasal Makar, UU ITE , dan lain sebagainya.\
5. Menerbitkan Maklumat dan Instruksi yang Membatasi dan Mengurangi HAM
Sepanjang 2020, Polri telah menerbitkan beberapa Maklumat yang melanggar karena membatasi Hak Asasi Manusia, di antaranya yakni Maklumat Kapolri Nomor : 2/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran virus Corona (Covid-19).
Kemudian, Kapolri juga menerbitkan Maklumat Nomor Mak/1/I/2020 itu terbit pada 1 Januari 2021 Tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI yang pada intinya berisi tentang larangan bagi setiap warga negara untuk “tidak mengakses, mengunggah dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun melalui media sosial.
6. Korupsi
Pada November 2020, LBH mengatakan publik kembali dikejutkan oleh keterlibatan 2 Perwira Tinggi Polisi yang terlibat kasus suap penghapusan red notice Joko Tjandra, yakni Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte.
7. Dwifungsi Polisi
Praktik dwifungsi ABRI yang terjadi di masa orde baru dituntut dihapuskan di era reformasi untuk mewujudkan aparat keamanan yang professional dan demokratis.
Namun saat ini, praktik tersebut kembali muncul, seperti menjadi Ketua KPK, Kepala BIN, Direktur Utama BULOG, Kepala BNN, Kepala BNPT, LPSK, Kepala-kepala inspektorat dan direktorat di berbagai kementerian, Lemhanas, menjadi Ketua Umum PSSI hingga menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan masih banyak lainnya.
Ombusdman juga menemukan 13 orang polisi menjadi komisaris BUMN dan 7% dari 167 Komisaris di anak perusahaan BUMN. Kondisi ini tentu saja tidak tepat mengingat salah satu tujuan penghapusan dwifungsi adalah untuk memperkuat pemerintahan yang bersih (good governance) yang bebas dari conflict kepentingan (conflict of interest).
8. Lemahnya Kontrol Terhadap Pertanggungjawaban Etik dan Hukum Aparat Kepolisian