Tren di TikTok Lagu Genjer-genjer, Apa Boleh Perdengarkan pada Kakek atau Nenek? Ini Kata Sejarawan
Memperdengarkan lagu Genjer-genjer kepada kakek atau nenek, kini sedang menjadi tren di TikTok.
Penulis: Nuryanti
Editor: Pravitri Retno W
Pascaperistiwa Gestok 1965, lagu itu menjadi medium propaganda yang hoaks terkait pembunuhan para Jenderal Pahlawan Revolusi di media milik gerakan anti-kiri.
Lagu itu kemudian muncul dalam film Pengkhianatan G30S/PKI yang wajib ditonton semasa Orde Baru.
Apakah Boleh Diperdengarkan pada Kakek atau Nenek?
FX Domini BB Hera menyebut, ada perbedaan yang mendasar antara fakta sejarah dengan hal yang dimitoskan.
"Orde Baru membangun mitos perihal lagu Genjer-genjer," ujarnya saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (8/2/2021).
Baca juga: EcoRanger Ajak Masyarakat Kelola Sampah untuk di Destinasi Wisata Pulau Merah Banyuwangi
Ia menyampaikan, lagu Genjer-genjer digambarkan sebagai adegan keji para aktivis Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) menari-nari dalam penyiksaan dan pembunuhan para Jenderal Pahlawan Revolusi.
"Hal berbeda menunjukkan lain dari hasil visum et repertum dimana luka penyiksaan keji para jenderal dengan tarian lagu Genjer-genjer tidak cocok dari segi uji validitas," ungkapnya.
Sehingga, generasi yang lebih tua yang mengalami propaganda dari mitos-mitos macam itu akan bertabrakan dengan generasi yang tidak mengalami.
"(Generasi sekarang) tidak mengetahui secara jelas duduk perkara dari memori kolektif seputar lagu Genjer-genjer," terang Domini.
Di sisi lain, lagu Genjer-genjer sudah mengalami beberapa kali pergantian memori.
"Semua lagu penderitaan rakyat Banyuwangi hingga lagu ini diidentikkan dengan mitos Orde Baru terkait kekejian PKI pada para jenderal tujuh pahlawan revolusi," imbuh dia.
Baca juga: Disebut Mirip Jokowi, Pria Asal Banyuwangi: Aku Memang Presiden, tapi Presiden Rumah Tangga
Menurutnya, setiap generasi selalu menulis sejarahnya sendiri.
Sementara itu, demokratisasi sejarah bukan hal yang tetap dan kekal.
"Setiap ada bukti baru ia bisa merubah pengertian yang selama ini ada."
"Hal yang paling susah memang menerima kebenaran dan pemutakhiran data dari semua hal yang dianggap sudah benar."
"Bahkan kebenaran yang bersifat relatif sekalipun," jelas sejarawan itu.
(Tribunnews.com/Nuryanti)