Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Empat Profesor Bicara Pluralisme (Bagian Pertama): Islam dalam Konteks Memerdekakan Indonesia

Memahami sejarah lahirnya Republik Indonesia yang pernah berjuang melawan penjajah sangat penting. Ini ada kaitannya dengan peran umat Islam.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Empat Profesor Bicara Pluralisme (Bagian Pertama): Islam dalam Konteks Memerdekakan Indonesia
YouTube/Kompas TV
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Komarudin Hidayat. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Prof Dr Komarudin Hidayat menyebut, secara politis, praksis, Islam di Indonesia sudah menerapkan paham pendekatan yang sangat moderat dan inklusif. Indonesia mayoritas warganya adalah umat Islam.

Kalau saja jumlah pahlawan perjuangan diurutkan, paling panjang daftarnya yang berasal dari golongan umat Islam.

Kendati demikian, sejak awal negara didirikan, seluruh anak bangsa sepakat Indonesia berbentuk republik dan Bhinneka Tunggal Ika.

Dengan kata lain, republik ini dibentuk atas dasar kesepakatan untuk membangun Indonesia yang plural, majemuk, berbeda-beda tetapi tetap satu.

Prof Dr Komarudin Hidayat menjelaskan, kalau dalam kurun waktu 20 tahun terakhir terjadi kasus-kasus radikalisme dan sebagainya perlu dibedakan.

Radikalisme melalui sikap perang ekstrem memang punya akar sejarah. Bangsa Indonesia punya collective memory, yaitu radikal dalam melawan penjajahan.

Bahkan Islam sendiri dari awalnya sudah sangat radikal.

Berita Rekomendasi

Menjungkirbalikkan dan mengubah cara pikir orang-orang Arab yang saat semula sangat chauvinistic menjadi inklusif.

Baca juga: Tak Hanya Akan Jadi Pusat Ibadah Umat Budha, Borobudur Juga Simbol Pluralisme dan Kebajikan di Dunia

Baca juga: Danlanud Silas Papare: Pluralisme adalah Anugerah Tuhan

Pengembangan Islam di tanah Arab ditempuh dengan cara yang sangat radikal.

Radikal di sini berarti radikal sebagai pilar peradaban, bukan yang eksklusif, apalagi destruktif, melainkan konstruktif.

"Revolusioner sekali karena radikalisme Islam yang dibawa Nabi Muhammad itu sangat sejalan dengan akal sehat, menumbuhkan hati nurani, dan bersikap kosmopolitan. Bukan radikalisme yang ekslusif, bukan yang destruktif, tapi yang konstruktif. Itulah sebabnya mengapa Islam berkembang sampai hari ini," ucap Prof Komarudin dalam diskusi online, Rabu (10/2/2021) lalu.

Banyak kemudian yang setelah mendalami ajaran Islam, ajaran Nabi Muhammad, bisa membedakan mana radikalisme yang destruktif dan mana yang radikal sebagai pilar peradaban.

Dalam konteks ini Prof Komarudin melihat Islam itu radikal bagi satu pilar peradaban.

"Dalam konteks Indonesia, ini juga radikal sekali. Kalau saja waktu itu umat Islam ekslusif, yang berdiri adalah kerajaan Islam atau Islam state, sebagaimana Pakistan atau yang lain," jelas Prof Komarudin.

Memahami sejarah lahirnya Republik Indonesia yang pernah berjuang melawan penjajah sangat penting. Ini ada kaitannya dengan peran umat Islam.

Berbeda dari kebanyakan negara-negara di Timur Tengah yang tidak punya sejarah panjang memperjuangkan kemerdekaan untuk mendirikan republik. Yang muncul kemudian di sana adalah kesultanan.

Bila pernah mempelajari sejarah Indonesia yang pernah radikal melawan penjajah, kiranya bisa ditemukan akar-akar historis dalam arti normatif dan tekstual tentang keislaman.

Akar-akar historis bagaimana Islam itu diterjemahkan serta dikonteskan dalam konteks memerdekakan Indonesia.

"Kalau di Indonesia antara agama dan negara ini menarik, ini bisa jadi kontribusi pada teori politik dunia tapi juga bisa jadi masalah yang tak terselesaikan," papar Prof Komarudin.

Di Indonesia ini agama dan struktur kenegaraan menyatu. Bahkan hanya di Indonesia ritual-ritual keagamaan, seperti perayaan Hari Raya Islam khususnya, dilaksanakan di Istana Kepresidenan.

Di sini, kata Prof Komarudin, terlihat jelas bahwa antara kultur keagamaan dan struktur kenegaraan sudah menyatu. Kendati demikian, hal tersebut bisa juga menjadi satu jebakan.

Khususnya bila ekspresi keislaman itu tidak memberikan satu contoh moral yang baik.

"Dan kalau gerakan-gerakan ormas, jemaat, politisi, tidak memberikan suatu hal yang baik, maka kemudian ekspresi keagamaan di Indonesia akan terkesan dimanipulasi sebagai instrumen politik," tutur Prof Komarudin.

Baca juga: Ketua DPD RI Sebut Keberagaman Agama Jadi Ciri Bangsa Indonesia

Baca juga: Wantimpres: Listyo Sigit Prabowo Jadi Kapolri Bukti Negara Pro Keberagaman dan Kebhinekaan

Lebih-lebih Indonesia ini sangat beragam, bertemu dengan politik demokrasi liberal, era digital, globalisasi.

Semua ini campur aduk dan berpotensi memunculkan kegaduhan. Belum lagi, dalam praktiknya, kebanyakan Islam dijadikan instrumen dari kegaduhan-kegaduhan yang ada.

Inilah mengapa penting sekali, moderasi keagamaan untuk mewujudkan Islam jadi pilar kekuatan peradaban.

Akhir-akhir ini, kata Prof Komarudin, energi segenap anak bangsa habis untuk berbicara tentang deradikalisasi, intoleransi, dan menjaga kesatuan.

Seluruh anak bangsa seakan kehilangan pikiran revolusioner yang konstruktif untuk masa depan bangsa.

Di sisi lain kesatuan yang dipaksakan dengan senjata tidak akan tahan lama.

Hubungan agama dan negara di Indonesia, di mana agama Islam itu begitu dominan, justru cenderung menjadi beban negara.

"Jangan sampai kemudian negara malah berbelas kasih, tapi harus jadi pilar bagi Indonesia," tutur Prof Komarudin.

Prof Komarudin berpendapat, sangat penting kiranya internal umat Islam maju dalam segi pendidikan, ekonomi kerakyatan.

Sehingga muncul dapat muncul golongan-golongan Islam yang intelektual independen dengan ekonomi kelas menengah.

"Selama ekonomi dan intelektual itu bagian dari politik, hemat saya bangsa ini sulit ke depan," ujar Prof Komarudin.

Harus didorong bagaimana agar muncul independensi secara ekonomi dan intelektual sehingga kemudian menjadi pilar peradaban.

Jangan kemudian agama menjadi tangga untuk masuk ke ranah politik dan kekuasaan negara, tapi tidak memberikan kontribusi ide-ide yang kuat.

Sekarang Indonesia sudah masuk dalam era informasi, aktornya adalah market. Orang berebut pasar di era informasi, metodenya persepsi, alatnya atau senjatanya adalah komputer, medsos dan sebagainya.

Sekarang ini, seseorang bisa kaya raya dengan hanya menguasai teknologi informasi.

Seperti halnya Bill Gate, yang begitu kaya raya tanpa perlu punya kapal, pabrik, dan buruh. Yang dia lakukan hanya menguasai jaringan informasi.

Sekarang, kata Prof Komarudin, bagaimana umat Islam di Indonesia bisa naik perlahan-lahan dengan menguasai teknologi informasi.

Dengan demikian, kalau mindsetnya masih pada takaran society tapi tidak disertai perkembangan teknokratis dari sisi masyarakat, di bangsa Indonesia akan kalah dalam persaingan.

"Kalau kalah persaingan karena faktor ekonomi, nanti agama dijadikan amunisi untuk pembelaan. Sehingga wajah agama itu menjadi galak, padahal itu muaranya bukan agama. Muaranya memang kalah dalam persaingan," ujar Prof Komarudin.

Oleh karena itu, seluruh dunia akan menjadi radikal namun tanpa wajah. Ketika tidak bisa mengikuti kemajuan, maka kemudian seluruh anak bangsa akan bingung melihat persaingan.

"Ketika bingung apa yang memberikan satu rumah aman? agama. Artinya apa? kita gamang menghadapi dunia yang plural dan global, karena gamang kemudian kita sembunyi dalam rasa kekhawatiran. Kalau demikian, jangankan jadi rahmat bagi semesta, Rahmat bagi Indonesia saja tidak bisa," pungkas Prof Komarudin Hidayat. (tribun network/genik)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas