Para Korban UU ITE Pertanyakan Keseriusan Pemerintah Hapus Pasal-pasal Karet
Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE) meminta Pemerintah dan DPR serius merevisi UU ITE karena pasal-pasal karet di UU ini serba multitafsir
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE) meminta Pemerintah dan DPR serius merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena pasal-pasal karet di UU ini serba multitafsir dan merugikan kepentingan masyarakat sipil.
Koordinator PAKU ITE Muhammad Arsyad mengatakan, Surat Edaran Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif, tidak banyak yang baru.
Misalnya poin H, terhadap para pihak dan atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme
"Terkait dengan penahanan, memang subjektif penyidik. Ancaman hukuman di bawah lima tahun tidak diwajibkan ditahan."
"Penyelesaian secara restoratif, ada Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Ketika kedua belah pihak berdamai tuntutan dicabut. Tidak ada yang baru. Ini ketentuannya sudah seperti itu," ujar Arsyad kepada Tribun Network, Selasa (23/2/2021).
Baca juga: Komnas HAM Harap Pemerintah Lebih Terbuka dan Partisipatif dalam Proses Revisi UU ITE
Arsyad berharap Pemerintah bersama-sama dengan DPR duduk bersama menyelesaikan persoalan UU ITE. Terutama untuk menarik pasal-pasal yang dinilai sebagai pasal karet.
Baca juga: Demokrasi Dianggap Melemah di Era Jokowi, Pengamat: Revisi UU ITE Jangan Hanya Basa Basi Politik
Dalam rencana melakukan revisi itu, kata Arsyad, pemerintah disarankan untuk melibatkan Komnas HAM.
"Karena presiden mengatakan ada ketidakadilan, ya libatkan Komnas HAM. Kami sebenarnya mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan masalah UU ITE," ucapnya.
Susunan dan anggota Tim Kajian UU ITE terdiri dari tim pengarah dan tim pelaksana. Tim pengarah terdiri dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly.
Kemudian, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo. Sedangkan, tim pelaksana sendiri dikomandoi Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemneko Polhukam, Sugeng Purnomo.
Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan pembentukan Tim Kajian UU ITE tak akan membuahkan hasil karena tidak dilibatkannya pihak independen.
"Pertama, tidak adanya keterlibatan pihak independen yang dapat melihat implikasi UU ITE pada pelanggaran hak-hak asasi warga," ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur.
Isnur menerangkan seharusnya pemerintah melibatkan Komnas HAM yang selama ini menerima aduan terkait pelaporan pada pembela HAM dengan pasal-pasal karet UU ITE dan Komnas Perempuan yang selama ini mereima aduan terkait laporan korban kekerasan gender yang justru dilaporkan dengan pasal 27 ayat 1 dan pasal 27 ayat 3 UU ITE saat memerjuangkan haknya sebagai korban.
"Pemilihan Tim Kajian UU ITE tanpa melibatkan unsur-unsur yang independen dikhawatirkan justru akan melanggengkan adanya pasal-pasal karet tersebut," ucap Isnur.
Dengan begitu, lanjut dia, Tim Kajian UU ITE yang demikian ini akan berat sebelah dalam melakukan kajian, terutama menitik beratkan pada aspek legalistik formal dan mengabaikan atau menutupi adanya situasi ketidakadilan yang selama ini timbul akibat diberlakukannya pasal-pasal karet di dalam UU ITE.
"Penunjukan komposisi Tim Kajian UU ITE yang dinilai bermasalah ini memberi pesan adanya ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan permintaan Presiden Jokowi untuk menelaah adanya potensi ketidakadilan dalam UU ITE," katanya.
Koalisi Masyarakat Sipil mendorong beberapa poin:
1. Pemerintah harus melibatkan pihak-pihak independen seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan dalam Tim Kajian UU ITE.
2. Koalisi Masyarakat Sipil menolak tegas keberadaan tim yang lebih fokus bekerja untuk merumuskan kriteria implementatif pasal-pasal tertentu UU ITE. Pedoman interpretasi ini tidak akan menjawab akar persoalan dari permasalahan yang dihadapi bangsa ini akibat pasal-pasal karet UU ITE.
3. Mendesak Tim Kajian UU ITE ini untuk fokus menelaah keberadaaan pasal-pasal bermasalah di UU ITE terutama pasal-pasal karet dan mendorong revisi yang substantif terhadap pasal-pasal ini.
4. Mendorong tim kajian ini untuk melibatkan secara aktif para akademisi, korban, perempuan korban, aktivis, pembela HAM, dan kelompok media dalam kajian pasal-pasal UU ITE.
Awalnya Presiden Joko Widodo menggulirkan wacana untuk melakukan revisi UU ITE. Berkaca dari banyaknya kasus masyarakat saling lapor. Jokowi mengatakan implementasi UU ITE menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat
Jokowi berujar Indonesia adalah negara demokrasi yang menghormati kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Indonesia adalah negara hukum yang harus menjalankan hukum seadil-adilnya, melindungi kepentingan yang lebih luas, dan sekaligus menjamin rasa keadilan masyarakat.
"Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini, karena di sinilah hulunya, hulunya ada di sini. Revisi," ujar Jokowi dalam acara Pengarahan kepada Pimpinan TNI Polri, Senin (15/2/2021).
Tindaklanjutnya, Menkopolhukam Mahfud MD membentuk dua tim khusus pengkaji UU ITE.
Berdasar Keputusan Menkopolhukam Nomor 22 Tahun 2021 tentang Tim Kajian UU ITE, tim diberi waktu bekerja sampai 22 Mei 2021.
Sementara tim bekerja, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat edaran soal penanganan kasus UU ITE, yang salah satu substansinya mengaktifkan virtual police. Langkah ini, dianggap ironis dan bertentangan dengan pesan Presiden Jokowi.
Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
Surat edaran itu bernomor: SE/2/11/2021 tertanggal 19 Februari 2021 dan ditandatangani langsung oleh Sigit.
Penyidik Polri pun diminta memedomani hal-hal sebagai berikut:
a. Mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya
b. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat
c. Mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber
d. Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil
e. Sejak penerimaan laporan, agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.
f. Melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada
g. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
h. Terhadap para pihak dan atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme
i. Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali
j. Penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan
k. Agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.(tribun network/denis/dod)