Pemerintah Dianggap Belum Maksimal Cegah Pernikahan Anak
Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, mengungkapkan bukannya semakin meredam, malah sebaliknya.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aturan perihal usia anak memang sudah direvisi ulang. Regulasi usia yang tadinya tertuang di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang usia calon mempelai minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun laki-laki.
Namun kini, usia perempuan yang akan menikah diubah menjadi minimal sudah berusia 19 tahun, sehingga serupa dengan laki-laki. Aturan ini tercantum di dalam UU Nomor 16 Tahun 2019.
Namun, yang menjadi polemik ketika pemerintah juga membuat peraturan terkait izin pernikahan di bawah usia 19 tahun. Ini tercantum di dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2019. Aturan tersebut menyatakan bahwa adanya dispensasi permohonan menikah.
Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, mengungkapkan bukannya semakin meredam, malah sebaliknya. Perma Nomor 5 Tahun 2019 membuat terjadinya pelonjakan dispensasi permohonan menikah. Dan rata-rata yang melakukan dispensasi adalah anak di bawah umur.
Alimatul menyebutkan jika Data Child Protection Officer UNICEF Indonesia menyatakan bahwa lebih dari 90% permohonan dispensasi nikah dikabulkan oleh pengadilan.
"Sedangkan ada juga data lain yang menyebutkan bahwa 80% pernikahan tersebut berujung pada perceraian. Artinya, pernikahan anak juga meningkatkan angka perceraian," ungkapnya pada acara webinar Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Sabtu (27/2/2021).
Bahkan selama pandemi, angka dispensasi nikah mengalami lonjakan. Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, angka dispensasi menikah pada tahun 2020 mencapai 64.211.
Padahal di tahun 2019 sudah berada di angka 23.126. Berarti angka ini menunjukan telah terjadi peningkatan yang cukup siginifikan.
Menanggapi terkait data tersebut, periset dan aktivis perempuan Prof Siti Musdah Mulia mengatakan jika pemerintah terlihat belum bersungguh-sungguh.
Adanya Perma Nomor 5 Tahun 2019 merupakan bentuk pelonggaran terkait pernikahan anak. Hal ini bertolak belakangan dengan program pemerintah yang lain yaitu meningkatkan mutu kualitas sumber daya manusia (SDM).
"Meskipun kita punya regulasi untuk membatasi pernikahan. Tapi munculnya Perma Nomor 5 Tahun 2019 malah digunakan sebagai celah," katanya.
Dua aturan tersebut terkesan saling bertentangan. Oleh sebab itu, Musdah mengungkapkan perlunya penyeragaman terkait regulasi yang dibuat pemerintah. Sehingga tidak ada celah atau alasan apa pun yang mendorong orang untuk melakukan pernikahan anak.