Virtual Police Awasi Komentar Netizen, PBHI: Lebih Baik Urusi Penipuan Online dan Kasus Lain
Sekjen PBHI, Julius Ibrani menilai kepolisian lebih baik mengusut dan berantas kejahatan siber ketimbang awasi komentar netizen di medsos.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Gigih
TRIBUNNEWS.COM - Ketimbang mengawasi aktivitas warganet di media sosial (medsos), kepolisian dinilai lebih baik memberantas dan mengusut kejahatan siber lain seperti penipuan online.
Hal itu diungkapkan Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani.
Pernyataan ini dilontarkan Julius menanggapi ditindaknya seorang netizen atau warganet, AM, oleh Tim Virtual Police Polresta Surakarta.
AM diduga melontarkan hoaks kepada Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka.
"Lebih baik (kepolisian) masuk pada porsi yang tepat, seperti penipuan pinjaman online, ada juga akun-akun fiktif rekening bank di sejumlah bank, pengaduan ancaman di masyarakat yang memang riil, itu dulu saja yang dibenahi," ungkap Julius dalam program diskusi Overview Tribunnews.com, Kamis (18/3/2021).
Baca juga: Netizen Pengolok Gibran di Medsos Ditindak Polisi, Roy Suryo: Berlebihan, Bukan Tugas Kepolisian
Julius menyarankan agar aktivitas polisi menindak netizen yang berkomentar di medsos agar dihentikan.
Selain itu, Julius juga mengungkapkan belum ada regulasi yang benar-benar mengatur tugas dan fungsi virtual police.
"Hentikan dulu, sambil menunggu revisi dan berbagai macam regulasi," ungkapnya.
Utamakan Edukasi
Julius juga mengungkapkan jika edukasi merupakan hal yang semestinya paling diutamakan.
Ditegaskan Julius, tugas edukasi bukanlah di tangan kepolisian.
"Yang paling penting di atas semua itu adalah, mari lakukan edukasi ke masyarakat."
"Dan edukasi bukan di tangan kepolisian, ada Kementerian Pendidikan atau di Kemenkominfo," ucap Julius.
Baca juga: Mabes Polri Bantah Tangkap Penyindir Gibran: Ia Datang Sendiri
Julius juga menyorot peran Menkominfo, Johnny G Plate.
"Kami tidak melihat Menkominfo hadir di edukasi publik terkait syiar kebencian, provokasi, kebebeasan berekspresi dan batasan yang bisa mengancam orang lain, dan itu sangat fundamental sekali," ungkapnya.
"Harusnya edukasi, pencerahan publik, bahwa komentar itu harus seperti apa, batasannya bagaimana, itu di tangan Kominfo," imbuh Julius.
Pendapat Roy Suryo
Sementara itu pakar telematika KRMT Roy Suryo mengungkapkan hal senada dengan Julius.
Roy Suryo menilai pengawasan terhadap komentar warganet di media sosial bukanlah tugas dari polisi virtual, melainkan Kemenkominfo.
"Tugas ini memang bukan tugas virtual police, ini bukan tugas kepolisian, ini tugas Satgas Anti Hoax, atau Kominfo," ungkap Roy dalam program diskusi tersebut.
Roy Suryo menilai aktivitas pihak kepolisian yang memberi teguran kepada warganet atau netizen berinisial MA, sedikit berlebihan.
"Apa yang dilakukan memang agak over, berlebihan. Seolah-olah pejabat negaranya tidak minta itu untuk ditindak, tapi aparatnya yang menindak," ungkap pakar telematika tersebut.
Roy Suryo menyebut jika dirinya mengapresiasi kehadiran virtual police.
"Tapi kalau virtual police ini malah menimbulkan ketakutan dan kengerian di masyarakat, ini tidak tercapai," ungkapnya.
Baca juga: Ejek Gibran Rakabuming Raka, Pria Asal Tegal Dipanggil ke Mapolresta Solo
Baca juga: Wejangan Bupati Karanganyar untuk Gibran dan Kepala Daerah Baru di Soloraya
Roy Suryo mengungkapkan, jika memang kasus Gibran ini dilanjutkan, kepolisian harus adil.
"Kalau mau adil ya fair kepada semua pihak, Polri melindungi semua pejabat publik, kira-kira capek nggak kalau Polri ngawasi, setiap ada olok-olok, misalnya kepada Bupati Gunungkidul, atau Bupati Rokan Hulu, akan diproses seperti memproses Gibran, itu baru adil," ungkap Roy Suryo.
Roy Suryo juga berharap jika proses penyelesaian kasus dilakukan terbuka.
"Saran saya clear, kalau polisi virtual tetap melakukan tugasnya ya nggak papa."
"Tapi, setiap akan menyelesaikan sebuah kasus, jangan diam-diam, melainkan terbuka," ungkap Roy Suryo.
Roy Suryo mengungkapkan, jika ada warganet yang hendak dimintai keterangan, maka harus dilakukan secara terbuka.
"Penyelesaiannya bukan hanya di-DM, kemudian mencabut, minta maaf, selesai, bukan itu. Itu namanya penyelesaian sepihak."
"Harusnya kedua belah pihak, ada publikasi, ada keterbukaan," ungkapnya.
Sebelumnya diketahui, seorang pria berinisial AM asal Slawi, Tegal, mendatangi Markas Polresta Solo, Senin (15/3/2021).
Kedatangan AM sebagai tindak lanjut setelah dirinya menulis di medsos dengan nada hinaan ke Wali Kota Solo, Gibran.
Dikutip dari TribunSolo.com, Paur Humas Polresta Solo, Aiptu Iswan Tri Wahyudiono, menyatakan pemanggilan AM karena telah postingan informasi tidak benar atau hoaks di kolom komentar akun media sosial.
"Jadi dia membuat tulisan bernapaskan hoaks," ungkap Iswan.
Lantas, postingan seperti apakah yang diunggah oleh AM?
Unggahan itu ditulis AM di akun Instagram @garudarevolution.
AM mengomentari postingan yang mengutip perkataan Gibran yang menginginkan semifinal dan final Piala Menpora agar diadakan di Kota Solo.
"Tahu apa dia tentang sepak bola, tahunya cuma dikasih jabatan aja," tulis AM di kolom komentar postingan tersebut.
AM pun mengakui perbuatannya.
Baca juga: Didampingi Gibran, Menaker Ida Buka Program Pelatihan Kerja di Solo
Baca juga: Ketika Gibran Dampingi Menaker Ida Fauziyah Resmikan Barista Jamu di BLK Surakarta
"Benar, memang saya menulis komentar di @garudarevolution di postingan soal semifinal dan final Piala Menpora Solo."
"Dan saya minta maaf kepada Bapak Gibran Rakabuming Raka dan kepada masyarakat serta Polresta Solo, saya menyesal dan tidak akan mengulanginya lagi," ujar AM dikutip dari akun instragram @polrestasurakarta.
Artikel lain mengenai Gibran Rakabuming Raka.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto/Faryyanida Putwiliani) (Tribun Solo/Fristin Intan Sulistyowati)