Anggota Komisi IX Minta Pemerintah Pastikan Tidak Ada Obat Titipan Dalam Daftar Fornas
Penyusunan Fornas harus dilakukan transparan dan bertanggung jawab serta memastikan tidak ada obat titipan yang masuk untuk kepentingan bisnis.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi IX DPR RI bersama pihak terkait tengah membahas Formularium Nasional (Fornas), yaitu daftar obat terpilih yang digunakan sebagai acuan penulisan resep dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional.
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Netty Prasetiyani Aher meminta pemerintah agar penyusunan Fornas dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab, serta memastikan tidak ada obat titipan yang masuk untuk kepentingan bisnis.
"Fornas disusun sebagai acuan penulisan resep obat dalam JKN sehingga ada pengendalian mutu obat dan biaya pengobatan yang berdampak pada optimalisasi pelayanan pada pasien. Oleh karena itu daftar obat yang masuk fornas harus benar-benar obat terpilih yang paling berkhasiat, aman dan harga terjangkau," ujar Netty, kepada wartawan, Rabu (24/3/2021).
"Tidak boleh ada obat titipan yang masuk untuk kepentingan bisnis atau lainnya. Jadi Fornas harus transparan dan bertanggung jawab dalam prosesnya agar rakyatlah yang paling diuntungkan, bukan yang lain," imbuhnya.
Baca juga: Legislator PKS: Aturan BPOM Jadi Pegangan Keamanan Makanan, Minuman, Obat dan Kosmetik
Fornas, kata Netty, dapat digunakan sebagai acuan pemerintah dalam menyusun perencanaan pengadaan obat dan alat kesehatan secara e-katalog agar kebutuhan lapangan terpenuhi, baik di tingkat lokal maupun nasional.
"Pemerintah harus memaksimalkan penggunaan e-katalog dalam proses pengadaan obat guna menghindari kekosongan ketersediaan obat serta memudahkan akses masyarakat dalam mendapatkan obat yang tercover BPJS dan obat lainnya. Dengan e-katalog diharapkan masyarakat tidak lagi dibebani dengan obat-obat yang tidak dicover BPJS," katanya.
Selain itu, menurut Netty, Fornas seharusnya meningkatkan efisiensi anggaran pelayanan kesehatan Kemenkes tahun 2021.
"Kemenkes menerima anggaran sebesar Rp169,7 triliun untuk alokasi vaksin, penanganan COVID-19, obat-obatan dan alat kesehatan. Anggaran ini harus dioptimalkan untuk menjamin peningkatan pelayanan kesehatan pada rakyat, termasuk dalam hal ketersediaan obat bagi peserta BPJS," imbuhnya.
Baca juga: Kepala KSP Moeldoko: Vaksin Bukan Lagi Persoalan Obat, Tapi Geopolitik dan Geostrategi
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini juga meminta pemerintah agar memastikan ketersediaan obat untuk penyakit katastropik yang masih tinggi penderitanya.
"Jumlah penderita penyakit katastropik seperti jantung, kanker, stroke, gagal ginjal dan thalasemia masih tinggi. Penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi dengan risiko kematian tinggi sehingga membutuhkan biaya pengobatan besar. Oleh karena itu, pemerintah harus menjamin ketersediaan obatnya agar pasien dapat terlayani dengan baik," ujar Netty.
Lebih lanjut, Netty menyoroti masih kurangnya daftar produk yang tergolong herbal terstandar dan fitofarmaka dalam e-katalog obat-obatan.
"Negeri kita kaya akan sumber daya alam herbal berkhasiat sebagai bahan baku obat tradisional dan fitofarmaka. Potensi besar ini sudah dikenal luas oleh bangsa lain di dunia namun belum optimal dalam pengelolaanya," ungkap Netty.
"Pemerintah harus mendukung program penelitian dan pengembangan bahan-bahan alami tersebut sebagai bahan baku obat sehingga Indonesia unggul dalam industrialisasi obat tradisional dan fitofarmaka," pungkasnya.