Yenny Wahid: PR Buat Indonesia Mengatasi Teroris Milenial, Termasuk Perempuan
Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid melihat ada 'pekerjaan rumah' bagi Indonesia dalam menangkal 'virus' radikalisme yakni teroris milenial.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Direktur Wahid Foundation, Zannuba Arifah Chafsoh atau akrab disebut Yenny Wahid melihat ada 'pekerjaan rumah' bagi Indonesia dalam menangkal 'virus' radikalisme.
"Yang jadi PR buat kita adalah, teroris milenial termasuk yang ada di dalamnya adalah Perempuan," ujar Yenny kepada Tribun Network di Jakarta, Kamis (8/4) dua hari lalu.
Menurut Yenny kalangan milenial rentan merasa gelisah, cemas, dan rentan terhadap tekanan dari lingkungan.
"Bahaya jika mereka merasa tidak berarti, karena mereka ingin dianggap, eksis, kemudian dikasih muatan agama supaya mereka eksis, tapi eksisnya keliru," imbuh Yenny.
Baca juga: Bambang Pamit Sebagai Menristek, Jokowi Bentuk Kementerian Investasi, Isu Reshuffle Menggema
Baca juga: Jokowi Jadi Imam di Masjid Babul Janah, Ternyata Imam Masjid Jadi Korban Banjir, Belum Ditemukan
Menjadi pekerjaan rumah bersama atau seluruh pihak agar sama-sama bisa melawan gerakan-gerakan radikal.
"Ini PR besar kita bagaimana menumbuhkan resiliensi terhadap anak muda agar bisa lebih kuat, tidak tertarik dengan narasi itu," kata Yenny.
Berikut petikan wawancara Tribun Network bersama Yenny Wahid:
Bagaimana Anda melihat isu radikalisme saat ini?
Isu radikalisme kita banyak bekerjasama dengan BNPT. Kita banyak bekerjasama dengan lembaga-lembaga anti terorisme di Saudi juga. Sudah lama terjalin dengan negara-negara timur tengah juga. Kalo saya pribadi, saya menjadi adviser untuk hedayah, yaitu Think Thank yang berbasis di Abu Dhabi, yang didirikan oleh putera mahkota Abu Dhabi.
Kegiatan nya untuk mencounter isu terorisme. Jadi semua negara global. Hubungan global, terutama untuk negara-negara Islam memang sudah terjalin dan bahkan ditingkatkan lagi.
Karena fenomena terorisme bukan fenomena lokal, melainkan fenomena transnasional sehingga membutuhkan kerja sama dengan berbagai negara. Karena yang mensuplai senjata juga dari luar negeri, yang mensuplai dana juga dari luar negeri. Jadi betul-betul perlu kerja sama, mulai dari intelegen hingga kerja sama pelatihan dan membangun narasi.
Membangun narasi itu penting, karena banyak masyarakat Indonesia yang kiblat nya ke timur tengah. Penting sekali negara timur tengah menciptakan narasi yang toleran, menjunjung perdamaian, mendukung kemerdekaan, dan trennya sekarang mulai terlihat.
PR besar kita untuk menangkal virus radikalisme?
Radikalisme itu faktornya itu bukan persoalan ajaran agama, ini dari hasil penelitian kami (Wahid fondasi). Faktor terbesar yang mendorong orang jadi radikal adalah perasaan gelisah, cemas, marah, dan adanya ketidakadilan yang dia ingin meluruskannya. Atau juga rasa frustasi, kegelisahan dan rasa tidak percaya diri.
Kemudian dia bertemu dengan orang-orang yang mendoktrinasi yang mengatasnamakan agama, masuklah ini, dan seolah-olah menawarkan jawaban atas kegelisahan nya. Ia seolah-olah merasa menjadi penting.
Jika orang yang tidak percaya diri itu mendapat peran untuk menjadi pahlawan, itu akan mereka ambil. Apalagi jika dasar nya seolah-olah adalah agama.
Doktrin itu juga bisa soal politik, karena isu politik yang berdasarkan teori konspirasi itu mampu membuat orang bersikap radikal. Seperti yang terjadi di AS, ketika Trump membuat konten di medsos yang memprovokasi pengikutnya, sehingga mereka berbondong-bondong datang ke Capitol untuk melakukan penyerangan.
Pengikut yang gelisah karena merasa pemerintah baru akan membuat kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka anut, kemudian melakukan perbuatan radikal. Jadi ini bukan permasalahan agama, tapi permasalahan kegelisahan, ketidak percayaan diri, kecemasan dan ketakutan yang kemudian dieksploitasi oleh kelompok radikal tersebut.
Ada fenomena di mana milenial dilibatkan dalam aksi terorisme?
Yang jadi PR buat kita adalah, teroris milenial termasuk yang ada di dalamnya adalah Perempuan, karena mereka ini sangat rentan merasa gelisah, cemas, dan rentan terhadap tekanan dari lingkungan. Bahaya jika mereka merasa tidak berarti, karena mereka ingin dianggap, eksis, kemudian dikasih muatan agama supaya mereka eksis, tapi eksisnya keliru. Ini PR besar kita bagaimana menumbuhkan resiliensi terhadap anak muda agar bisa lebih kuat, tidak tertarik dengan narasi itu.
Peran orang tua, institusi pendidikan dan masyarakat sangat penting. Peran pemuka agama sangat penting. Ini hrus kolaborasi dan semuanya terlibat. Tidak bisa hanya dikasih ke polisi. Persoalannya tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan keamanan, tapi juga harus dengan pendekatan kemanusiaan.(tribun network/denis destryawan)