RA Kartini Tokoh Emansipasi Wanita, Ini Sejarah Hari Kartini dan Kumpulan Kutipan Inspiratif
R.A. Kartini dikenal sebagai tokoh yang gigih memperjuangkan emansipasi wanita. Simak sejarah Hari Kartini, beserta kumpulan kutipan R.A. Kartini.
Penulis: Yurika Nendri Novianingsih
Editor: Whiesa Daniswara
Sekolah tersebut berada di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Dari pernikahannya, Kartini dikaruniai seorang anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat.
Pada 17 September 1904, Kartini menghembuskan napas terakhirnya pada usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihan R.A. Kartini, kemudian didirikan “Sekolah Kartini”, Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912 dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya.
Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh politik Etis.
Sejarah Ditetapkan Hari Kartini
Wafatnya R.A. Kartini tidak serta-merta mengakhiri perjuang R.A. Kartini semasa hidupnya.
Salah satu temannya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda, mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa.
Abendon kemudian membukukan seluruh surat itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”.
Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1911 dan cetakan terakhir ditambahkan surat “baru” dari Kartini.
Namun, pemikiran-pemikiran Kartini dalam surat-suratnya tidak pernah bisa dibaca oleh beberapa orang pribumi yang tidak dapat berbahasa Belanda.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi translasi buku dari Abendanon dengan bahasa Melayu yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran”.
Kemudian, tahun 1938, salah satu sastrawan bernama Armijn Pane yang masuk dalam golongan Pujangga Baru menerbitkan versi translasinya sendiri dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Versi milik Pane membagi buku ini dalam lima bab untuk menunjukkan cara berpikir Kartini yang terus berubah.